AS Tuduh Hacker China Targetkan Pejabat hingga Keluarga Trump
- Muhammad Bachtiar Nur Fa'izi
- •
- 04 Nov 2024 15.06 WIB
Amerika Serikat (AS) menuduh peretas yang diyakini terkait dengan China telah melancarkan serangan siber terhadap sejumlah pejabat pemerintahan AS, termasuk orang-orang dekat dari kandidat presiden 2024. Peretas ini kabarnya tidak hanya mengincar pejabat tinggi, tetapi juga staf kampanye dari Kamala Harris, calon presiden dan saat ini menjabat sebagai wakil presiden. Kamala, yang bersaing dengan Donald Trump dalam pemilihan mendatang, menjadi salah satu target utama.
Bukan cuma lingkaran dekat Kamala yang menjadi sasaran. Hacker ini juga diduga mencoba membobol informasi terkait Donald Trump, sang mantan presiden yang kini juga tengah mencalonkan diri lagi. Menurut sumber yang dikutip oleh media ternama, New York Times, serangan itu menargetkan ponsel anggota keluarga Trump, termasuk Eric Trump, putranya, serta menantunya, Jared Kushner.
Selain mengincar mereka yang dekat dengan Kamala dan Trump, hacker ini juga membidik pakar diplomasi dan beberapa pejabat AS yang mungkin tidak begitu dikenal publik, namun tetap dianggap penting oleh pejabat China. Tampaknya, mereka yang dipilih adalah orang-orang yang dianggap tahu banyak tentang kebijakan dalam negeri AS. Dengan informasi dari target-target ini, para peretas mungkin berharap bisa memahami strategi internal AS yang mungkin berharga bagi kepentingan China.
Salah satu sektor yang terkena dampak dari serangan ini adalah perusahaan telekomunikasi AS. Sistem mereka berhasil diretas, memungkinkan para peretas mengakses data yang sensitif. FBI, badan intelijen AS, kini sedang melakukan penyelidikan mendalam untuk memahami sejauh mana kerusakan yang terjadi. FBI juga mencurigai bahwa serangan ini membuat peretas bisa melihat pesan SMS yang tidak terenkripsi, riwayat panggilan, dan bahkan komunikasi suara. Namun, belum diketahui apakah yang terekam adalah percakapan telepon langsung atau hanya pesan suara.
Eric Trump, menanggapi insiden ini dengan menyalahkan administrasi Biden. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan, "Di bawah Kamala dan Biden, China sudah terlalu jauh melangkah dan merusak AS." Sementara itu, FBI dan badan intelijen AS lainnya belum memberikan komentar terkait tanggapan dari pihak Trump.
Insiden ini juga berdampak pada kampanye Trump. Pekan lalu, tim kampanyenya mendapat pemberitahuan bahwa ponsel yang digunakan Trump serta pasangannya, JD Vance, menjadi sasaran serangan. Pemberitahuan dari operator telekomunikasi Verizon memberi tahu mereka bahwa sistem mereka kemungkinan besar sedang diintai. Senator Chuck Schumer dan beberapa pejabat lainnya juga mendapat notifikasi serupa.
Tentu saja, ini bukan pertama kalinya AS menghadapi ancaman serangan siber dari pihak luar. Tahun ini, FBI melaporkan bahwa mereka sudah menangani ribuan serangan serupa. Para ahli keamanan siber menyatakan bahwa ancaman siber semakin rumit, dan alat serta metode yang digunakan oleh peretas pun semakin canggih.
Beberapa organisasi keamanan siber menengarai bahwa kelompok yang berada di balik serangan ini adalah Salt Typhoon, kelompok hacker yang dikenal dengan operasi siber canggih. Salt Typhoon sudah sering dikaitkan dengan aktivitas yang mendukung intelijen China. Pada awal tahun ini, kelompok tersebut sempat berhasil meretas sistem telekomunikasi AS, yang kemudian memicu kekhawatiran di pemerintahan.
Meski tudingan telah dilontarkan, pihak China membantah bahwa serangan ini didukung pemerintah mereka. Kedutaan Besar China di Washington menyebut klaim ini sebagai "distorsi fakta." Mereka menegaskan bahwa China tidak terlibat dalam aktivitas siber yang ditujukan untuk mencuri informasi dari pemerintah atau warga AS. Dalam pernyataannya, China menilai laporan ini sebagai upaya untuk mengesampingkan fakta demi kepentingan tertentu.
FBI masih terus mengusut kasus ini dan berusaha menemukan lebih banyak petunjuk tentang pihak yang benar-benar berada di balik serangan. Beberapa ahli siber menduga bahwa kelompok ini memiliki motif untuk mengakses informasi penting terkait kebijakan dalam negeri AS, yang kemungkinan bisa dimanfaatkan untuk memperkuat posisi China di panggung internasional. Meski begitu, spekulasi ini masih membutuhkan bukti lebih lanjut.
Perang siber antara negara-negara besar memang bukan hal baru, tetapi insiden ini menunjukkan bahwa ancaman siber kini tidak hanya menyasar pemerintah atau institusi besar. Serangan terhadap ponsel pribadi keluarga mantan presiden seperti Donald Trump menunjukkan betapa rentannya kita semua dalam menghadapi serangan siber yang semakin canggih dan sulit dideteksi.