Hegemoni Teknologi & Ancaman Siber: Mengubah Peta Kekuatan Global
- Yudianto Singgih
- •
- 27 Mei 2025 17.03 WIB

Ilustrasi Cyber Protection
Ketegangan militer antara India dan Pakistan kembali memanas pada awal Mei 2025 namun kali ini, peperangan tak hanya berkecamuk di perbatasan, tapi juga di ranah yang lebih sunyi dan strategis: ruang digital. Di tengah gejolak tersebut, menurut Defence Security Asia (2025) India berupaya untuk mendapatkan akses ke kode sumber jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation, Prancis—sebuah langkah berani yang bukan sekadar urusan pertahanan, melainkan pertaruhan atas kedaulatan digital dan kontrol atas infrastruktur informasi vital nasional. Namun, Prancis memilih menahan diri, enggan membuka akses ke teknologi inti yang selama ini menjadi simbol dominasi Barat dalam hegemoni teknologi global. Di tengah lanskap ancaman siber yang makin canggih dan nyaris tak kasatmata, kasus ini menunjukkan satu hal yang tak bisa lagi diabaikan: dalam dunia yang kian digital, kontrol atas kode bisa lebih menentukan daripada kendali atas senjata. Siapa yang menguasai sistem digital, dialah yang menulis ulang peta kekuasaan global.
Apa yang dialami India hanyalah satu contoh dari tantangan yang kini dihadapi banyak negara dalam mempertahankan kendali atas ruang digital dan infrastruktur informasi vital nasional mereka. Di era ketika koneksi digital melampaui batas geografis dan data menjadi komoditas paling berharga, siapa yang menguasai ruang siber memegang kendali atas masa depan. Perang tak lagi hanya digelorakan dengan senjata, tetapi dengan algoritma dan infrastruktur digital. Dari papan catur geopolitik global hingga perangkat yang ada di genggaman tangan, kekuasaan kini ditentukan oleh siapa yang mengendalikan informasi, jaringan, dan sistem digital yang menopang kehidupan modern. Dalam pusaran revolusi digital ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah negara kita benar-benar berdaulat di ruang siber, ataukah hanya menjadi pengguna dari infrastruktur yang dikendalikan pihak lain?
Di abad ke-21, kita menyaksikan pergeseran paradigma dalam penilaian kekuatan dan kedaulatan suatu bangsa. Jika dahulu kekayaan negara diukur dari cadangan emas atau kekuatan militernya, kini ukuran tersebut bergeser kepada kapasitas digital dan kendali atas informasi (Schmidt & Cohen, 2013). Dunia yang semakin terkoneksi telah melahirkan konsep kedaulatan digital, sebuah hak dan kemampuan mendasar bagi negara untuk mengendalikan infrastruktur digitalnya, mengelola data dalam batas-batas teritorialnya, serta merumuskan kebijakan yang mengatur ruang siber demi kepentingan nasional (UNCTAD, 2021). Kedaulatan digital bukan lagi sekadar isu teknis, melainkan telah menjadi pilar vital bagi keamanan nasional, stabilitas ekonomi, dan otonomi politik (DeNardis, 2014). Ketergantungan terhadap teknologi asing memunculkan risiko seperti penyadapan, sabotase digital, dan manipulasi infrastruktur penting oleh aktor eksternal, yang semakin nyata dalam era persaingan geopolitik digital (World Economic Forum, 2023).
Sering kali publik abai karena ancaman siber tidak terlihat secara kasatmata, namun para pemimpin negara, pembuat kebijakan, dan pemimpin industri teknologi perlu menyadari bahwa kelalaian terhadap isu kedaulatan digital dan ancaman siber dapat membawa konsekuensi serius terhadap keberlangsungan negara, kestabilan sosial, dan daya saing ekonomi. Sebab, kemajuan teknologi yang luar biasa juga membawa sisi gelap berupa ketergantungan yang semakin mendalam terhadap sistem digital. Hampir seluruh aspek kehidupan dari perbankan, energi, transportasi, komunikasi, hingga pertahanan bergantung pada infrastruktur digital yang tidak jarang dikuasai pihak asing. Ketergantungan ini melahirkan kerentanan sistemik, membuka celah bagi ancaman siber dalam bentuk serangan ransomware, spionase digital, hingga kampanye disinformasi (ENISA Threat Landscape, 2022).
Relasi antara kedaulatan digital dan ancaman siber bersifat paradoksal. Di satu sisi, semakin kuat kendali suatu negara atas ruang digitalnya, semakin besar kemampuannya menanggulangi ancaman siber. Di sisi lain, meningkatnya kompleksitas serangan siber memaksa negara-negara memperkuat kontrol terhadap infrastruktur digital. Di sinilah kedaulatan digital menjadi prioritas utama dalam menyikapi realitas geopolitik yang semakin bergeser ke medan siber (Mueller, 2017).
Fenomena ini turut membentuk ulang keseimbangan kekuatan global, di mana hegemoni teknologi kini menjadi instrumen utama kekuasaan dan pengaruh geopolitik. Negara-negara adidaya bersaing bukan hanya di medan perang konvensional, tetapi juga di ruang digital. Kepemilikan atas teknologi mutakhir, kemampuan serangan dan pertahanan siber, serta kendali atas data dan standar digital menjadi modal baru dalam pertarungan global (Nye, 2021). Aliansi berbasis kepercayaan teknologi mulai terbentuk, rantai pasokan dievaluasi kembali, dan isu keamanan siber sering kali dijadikan legitimasi untuk perang dagang terselubung.
Di tengah meningkatnya tensi geopolitik, kedaulatan digital bukan lagi sekadar aspirasi idealistik, melainkan menjadi kebutuhan mutlak untuk bertahan dan berkembang dalam tatanan dunia yang semakin digital dan sarat tantangan. Artikel ini memberikan contoh bagaimana ancaman siber secara nyata menggerus kedaulatan digital, dan mengapa upaya untuk menguasai ruang digital menjadi misi krusial bagi kelangsungan dan kemajuan bangsa. Di sisi lain, respons dari negara-negara Global South menunjukkan bahwa kedaulatan digital bukan hanya alat perlindungan dari dominasi teknologi global, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun kapasitas lokal dan memperkuat posisi dalam arsitektur global yang tengah mengalami pergeseran besar (Gurumurthy & Chami, 2022).
Badai SolarWinds: Ketika Rantai Pasokan Menjadi Titik Terlemah Kedaulatan
Pada tahun 2020, dunia dikejutkan oleh insiden SolarWinds, sebuah serangan rantai pasokan (supply chain attack) yang sangat canggih. Peretas, yang diduga berasal dari kelompok yang disponsori negara Rusia, berhasil menyisipkan malware ke dalam pembaruan perangkat lunak Orion milik SolarWinds—perusahaan penyedia manajemen infrastruktur TI yang digunakan secara luas. Ribuan organisasi, termasuk departemen pemerintah AS, lembaga militer, serta perusahaan-perusahaan besar, tanpa sadar menginstal pembaruan berbahaya tersebut. Hasilnya, penyerang memperoleh akses rahasia dan persisten ke sistem jaringan korban selama berbulan-bulan tanpa terdeteksi (Sanger & Perlroth, 2021).
Kasus ini mengungkap betapa rentannya kedaulatan digital suatu negara jika integritas rantai pasokan teknologinya terganggu. Ketergantungan pada vendor tunggal, kurangnya transparansi proses pengembangan perangkat lunak, dan minimnya verifikasi keamanan pada level hulu menjadikan serangan ini sangat sulit dicegah. SolarWinds memaksa banyak negara untuk meninjau ulang strategi pertahanan sibernya, termasuk dengan memperkuat keamanan rantai pasokan, menerapkan standar pengembangan perangkat lunak yang lebih ketat, dan mengurangi ketergantungan pada infrastruktur asing (Clarke & Knake, 2019). Insiden ini tidak hanya merupakan pelanggaran keamanan, tetapi juga bentuk nyata erosi terhadap otonomi digital dan kepercayaan publik terhadap sistem digital nasional.
Perang 5G Huawei: Pertarungan Geopolitik untuk Kontrol Infrastruktur Kritis
Perdebatan global seputar penggunaan peralatan 5G dari Huawei telah menjadi sorotan utama dalam pertarungan kedaulatan digital. Banyak negara Barat, dipimpin oleh Amerika Serikat, menyuarakan kekhawatiran bahwa peralatan Huawei dapat digunakan oleh pemerintah Tiongkok untuk tujuan spionase atau sabotase (Segal, 2020). Ini bukan hanya tentang kecepatan internet; jaringan 5G adalah fondasi untuk infrastruktur kritis masa depan, mulai dari kendaraan otonom hingga kota pintar dan otomatisasi industri.
Dalam konteks ini, kedaulatan digital berarti memiliki kendali penuh atas tulang punggung komunikasi negara. Dengan membatasi atau melarang Huawei, negara-negara berusaha untuk memastikan bahwa jaringan dasar mereka dibangun dengan teknologi yang mereka percayai sepenuhnya, melindungi data nasional dari potensi akses tidak sah, dan menjaga otonomi strategis mereka dari pengaruh asing yang berpotensi merugikan. Meskipun belum ada bukti publik yang meyakinkan tentang backdoor yang disengaja dan dieksploitasi dalam peralatan Huawei, potensi ancaman ini cukup untuk memicu respons drastis (Rosenberger & Gorman, 2020). Risiko spionase, sabotase, atau gangguan layanan ini adalah inti dari perdebatan, menunjukkan bagaimana persepsi ancaman siber dapat secara langsung membentuk kebijakan kedaulatan digital. Ini juga menyoroti bagaimana hegemoni teknologi yaitu dominasi suatu negara atau blok dalam pengembangan dan penyebaran teknologi kunci menjadi alat kekuatan geopolitik dalam era baru kompetisi global.
Ukraina di Garis Depan Siber: Kedaulatan Digital dalam Konflik Hibrida
Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 menjadi contoh paling gamblang tentang bagaimana perang siber menjadi bagian integral dari konflik militer dan secara langsung menguji kedaulatan digital suatu negara. Sejak sebelum invasi, Ukraina telah dihantam gelombang serangan siber yang intens, termasuk wiper malware yang menghapus data, serangan DDoS yang melumpuhkan situs web pemerintah dan perbankan, serta kampanye disinformasi yang masif (Microsoft, 2022).
Serangan-serangan ini bertujuan untuk melemahkan kedaulatan Ukraina secara digital dan fisik melumpuhkan fungsi negara, menghancurkan kepercayaan publik, dan mengganggu komunikasi. Namun, ketahanan kedaulatan digital Ukraina yang luar biasa, berkat persiapan bertahun-tahun dan dukungan internasional, menunjukkan bahwa investasi dalam kapasitas siber adalah kunci untuk mempertahankan otonomi di tengah badai. Konflik ini telah mengubah pemahaman tentang perang modern, di mana kedaulatan tidak hanya diperjuangkan di medan fisik, tetapi juga di ruang siber, menyoroti pentingnya kemampuan siber mandiri versus ketergantungan pada teknologi asing (Tikk, 2022).
Colonial Pipeline: Ransomware sebagai Ancaman Nyata Keamanan Nasional
Pada tahun 2021, serangan ransomware oleh kelompok DarkSide terhadap Colonial Pipeline, pipa bahan bakar terbesar di Amerika Serikat, berhasil melumpuhkan operasionalnya. Insiden ini menyebabkan kelangkaan bahan bakar di beberapa wilayah dan memaksa pemerintah AS mendeklarasikan keadaan darurat (CISA, 2021).
Kasus ini menegaskan bahwa ancaman siber, bahkan dari aktor non-negara, dapat secara langsung mengancam kedaulatan negara dalam menyediakan layanan esensial bagi warganya. Ketika infrastruktur kritis lumpuh, kemampuan pemerintah untuk berfungsi dan menjaga keamanan nasional terganggu secara signifikan. Pemerintah AS terpaksa bernegosiasi dengan kelompok peretas dan bahkan membayar tebusan untuk memulihkan layanan, sebuah indikasi hilangnya kontrol digital. Insiden ini mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi keamanan siber di sektor-sektor vital dan meningkatkan kolaborasi dengan sektor swasta untuk membangun ketahanan siber yang lebih kokoh (Zetter, 2021). Ini juga menunjukkan bagaimana kerentanan dalam sistem digital dapat dieksploitasi oleh aktor apa pun, menantang hegemoni siber yang mungkin diklaim oleh negara-negara besar.
Kode Sumber Rafale: Perebutan Kendali Digital di Ruang Pertahanan
Di tengah meningkatnya ketegangan konflik antara India dan Pakistan yang kembali memanas pada tahun 2025, India mengambil langkah strategis untuk memperkuat kedaulatan pertahanannya dengan mengupayakan akses ke kode sumber jet tempur Rafale yang telah lama dituntut dari Prancis. Langkah ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga bagian dari upaya jangka panjang India dalam menguasai teknologi militer secara mandiri. Dengan akses tersebut, India berencana mengintegrasikan persenjataan, avionik, dan sistem elektronik buatan dalam negeri ke dalam pesawat, serta melakukan pemeliharaan dan pembaruan tanpa bergantung pada Dassault Aviation (Defence Security Asia, 2025).
Namun, Prancis enggan memberikan kode sumber karena kekhawatiran akan risiko kebocoran teknologi, spionase, dan kehilangan hak kekayaan intelektual. Selain itu, ada ancaman siber nyata yang mengintai, seperti potensi infiltrasi malware atau backdoor yang bisa disisipkan pada sistem jika kontrol kode sumber lepas kendali. Hal ini dapat membuka celah bagi musuh atau pihak ketiga untuk melakukan sabotase, pencurian data, atau penggangguan operasional sistem pertahanan yang sangat sensitif (Defence Security Asia, 2025).
Ketegangan ini mencerminkan bagaimana negara penyedia teknologi mempertahankan kontrol atas aset strategisnya, sementara negara pembeli berjuang meraih kedaulatan teknologi yang lebih besar. Kasus Rafale menegaskan pentingnya akses ke teknologi inti sebagai bagian dari kedaulatan digital dan kemandirian pertahanan. Bagi India, hal ini sejalan dengan visi “Atmanirbhar Bharat” (India Mandiri), yang bertujuan mengubah negara tersebut menjadi kekuatan inovasi dan produksi militer yang mandiri. Perebutan kendali digital atas Rafale menjadi simbol persaingan global antara hegemoni teknologi dan aspirasi negara-negara berkembang untuk mandiri secara teknologi di era digital (Defence Security Asia, 2025).
Perspektif Global South: Strategi Mandiri dan Kolaboratif
Negara-negara Global South menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur digital yang modern sekaligus menghindari ketergantungan berlebihan pada teknologi asing. Keterbatasan kapasitas domestik dan dominasi perusahaan teknologi global menimbulkan risiko terhadap kedaulatan digital serta keamanan data nasional. Di tengah dilema ini, beberapa negara mengadopsi strategi yang menggabungkan pendekatan mandiri dan kolaboratif untuk memperkuat kedaulatan mereka. India, misalnya, aktif mengembangkan chip lokal dan layanan cloud domestik melalui inisiatif Digital India, bertujuan mengurangi ketergantungan pada teknologi impor dan meningkatkan kemandirian digital (Hilbert, 2020).
Sementara itu, Indonesia fokus membangun pusat data nasional sekaligus menegosiasikan aturan data lokal dalam kerangka kerja sama ekonomi digital yang lebih luas untuk menjaga kontrol atas data dan mendorong ekosistem teknologi dalam negeri. Nigeria mengambil langkah progresif dengan menolak solusi teknologi ‘siap pakai’ dari luar dan mengalihkan perhatian pada pengembangan startup lokal serta peningkatan pendidikan teknologi. Berbagai strategi ini memperlihatkan bahwa kedaulatan digital bukan hanya soal proteksi, tetapi juga investasi jangka panjang dalam penguatan kapasitas domestik agar negara-negara berkembang mampu bersaing dan berinovasi dalam ekosistem digital global (McGee & Singh, 2022).
Masa Depan Kedaulatan Digital
Menatap ke depan, negara-negara berkembang harus memainkan peran aktif dalam merancang arsitektur tata kelola digital global. Ini mencakup keterlibatan dalam penyusunan norma internasional seperti Budapest Convention on Cybercrime dan berbagai inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait tata kelola keamanan siber. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, partisipasi aktif ini menjadi esensial untuk memastikan bahwa kepentingan Global South tidak terpinggirkan dalam penetapan aturan-aturan digital yang bersifat transnasional (Carr, 2021).
Di sisi lain, sektor swasta global seperti Microsoft, Google, dan Amazon memegang kekuatan yang luar biasa dalam ekosistem digital. Mereka menentukan standar teknologi, arsitektur cloud, serta kebijakan privasi yang memengaruhi miliaran pengguna di seluruh dunia. Pengaruh korporasi besar ini terhadap kedaulatan data dan tata kelola internet telah menimbulkan kekhawatiran akan dominasi digital dan perlunya regulasi lintas negara yang kuat. Maka, kerja sama internasional terutama dalam kerangka multistakeholder diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara inovasi, hak digital, dan kepentingan nasional (Gurumurthy & Chami, 2023).
Menurut laporan Cybersecurity Ventures, kerugian akibat kejahatan siber global diperkirakan mencapai USD 10,5 triliun per tahun pada 2025, menjadikannya salah satu ancaman ekonomi terbesar di dunia. Angka ini mencerminkan urgensi penguatan pertahanan digital, tidak hanya di level nasional, tetapi juga dalam kolaborasi internasional yang inklusif dan setara. Dalam konteks ini, kedaulatan digital bukan sekadar perlindungan dari intervensi asing, tetapi juga peluang strategis untuk mendefinisikan ulang tata kelola digital global yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan (UNCTAD, 2022).
Penutup
Kedaulatan digital bukan hanya respons terhadap ancaman siber, tetapi juga medan perebutan kekuatan baru dalam geopolitik global. Negara-negara berkembang tidak bisa sekadar menjadi penonton atau konsumen dalam arena ini. Mereka perlu menyusun strategi kolektif dan memperkuat posisi tawar dalam forum internasional, membangun aliansi regional, mengembangkan ekosistem teknologi nasional, serta menetapkan regulasi yang mengutamakan kepentingan publik dan kemandirian teknologi. Dalam dunia yang semakin bergantung pada data, perangkat lunak, dan konektivitas, kontrol atas ruang digital bukanlah pilihan, melainkan syarat utama untuk berdaulat.
Dengan mengakui bahwa hegemoni teknologi adalah bagian dari dinamika geopolitik masa kini, langkah menuju kedaulatan digital harus disertai keberanian politik, kapasitas teknis, serta solidaritas di antara negara-negara yang memiliki kepentingan bersama. Kedaulatan digital adalah medan perjuangan baru, sekaligus peluang strategis untuk membentuk masa depan global yang lebih setara dan berkeadilan.
Daftar Referensi
- Carr, M. (2021). Digital Sovereignty and the Global Governance of Cybersecurity. International Studies Review, 23(4), 1165–1183. https://doi.org/10.1093/isr/viab015
- CISA. (2020, December 17). Alert (AA20-352A): Advanced Persistent Threat Compromises of Government Agencies, Critical Infrastructure, and Private Sector Organizations. https://www.cisa.gov/news-events/alerts/2020/12/17/advanced-persistent-threat-compromises-government-agencies-critical-infrastructure
- CISA. (2021, May 27). Alert (AA21-147A): DarkSide Ransomware: Best Practices for Preventing and Responding to Attacks. https://www.cisa.gov/news-events/alerts/2021/05/27/darkside-ransomware-best-practices-preventing-and-responding-attacks
- CISA. (2021). DarkSide Ransomware: Best Practices for Preventing Business Disruption from Ransomware Attacks. Cybersecurity & Infrastructure Security Agency. https://www.cisa.gov/news-events/alerts/2021/05/11/darkside-ransomware-best-practices-preventing-business-disruption
- CISA. (2022, February 26). Alert (AA22-057A): Destructive Malware Targeting Organizations in Ukraine.https://www.cisa.gov/news-events/alerts/2022/02/26/destructive-malware-targeting-organizations-ukraine
- Clarke, R. A., & Knake, R. K. (2019). The Fifth Domain: Defending Our Country, Our Companies, and Ourselves in the Age of Cyber Threats. Penguin Press.
- Cybersecurity Ventures. (2020). Cybercrime To Cost The World $10.5 Trillion Annually By 2025.https://cybersecurityventures.com/cybercrime-damages-6-trillion-by-2021/
- Defence Security Asia. (2025, May 19). India’s Rafale Dilemma: France Refuses Source Code Access Amid Rising Indo-Pacific Tensions. https://defencesecurityasia.com/en/battle-for-the-code-india-turns-up-heat-on-france-over-rafale-fighter-jet-secrets/
- DeNardis, L. (2014). The Global War for Internet Governance. Yale University Press.
- ENISA. (2022). ENISA Threat Landscape 2022. European Union Agency for Cybersecurity.
- Gurumurthy, A., & Chami, N. (2022). Digital Justice and Sovereignty in the Global South. Development, 65(1), 1–10.
- Gurumurthy, A., & Chami, N. (2023). Reclaiming the Public Value of the Digital: A Global South Perspective. IT for Change. https://itforchange.net/reclaiming-digital-public-value
- Hilbert, M. (2020). Digital Technology and Development: Perspectives from the Global South. Journal of Information Technology & Politics, 17(3), 245–262. https://doi.org/
- Hindustan Times. (2020, September 10). Why India wants Rafale's source code.https://www.hindustantimes.com/india-news/why-india-wants-rafale-s-source-code/story-T4iV3a55v7u6lG9y7J8t7M.html
- McGee, R., & Singh, J. (2022). Strategies for Digital Sovereignty in Emerging Economies: Balancing Independence and Collaboration. Global Policy, 13(1), 120–131. https://doi.org/10.1111/1758-5899.13032
- Microsoft. (2020, December 13). Protecting customers from the SolarWinds supply chain attack.https://www.microsoft.com/en-us/security/blog/2020/12/13/protecting-customers-from-solarwinds-supply-chain-attacks/
- Microsoft. (2022, April 27). Ukraine's digital resilience in the face of cyber attacks. https://blogs.microsoft.com/on-the-issues/2022/04/27/ukraine-digital-resilience-cyber-attacks/
- Microsoft. (2022). Special Report: Ukraine – An Overview of Russia’s Cyberattack Activity in Ukraine. https://www.microsoft.com/en-us/security/blog/2022/04/27/special-report-ukraine-an-overview-of-russias-cyberattack-activity-in-ukraine/
- Mueller, M. (2017). Will the Internet Fragment? Sovereignty, Globalization and Cyberspace. Polity Press.
- Nye, J. S. (2021). Do Morals Matter? Presidents and Foreign Policy from FDR to Trump. Oxford University Press.
- Reuters. (2020, July 14). UK bans Huawei from 5G network from 2027. https://www.reuters.com/article/uk-huawei-5g-britain-idUKKBN24F0L9
- Rosenberger, L., & Gorman, L. (2020). How Democracies Can Win the 5G Race. Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/2020-06-09/how-democracies-can-win-5g-race
- Sanger, D. E., & Perlroth, N. (2021). “As Understanding of SolarWinds Hack Grows, So Does Alarm.” The New York Times. https://www.nytimes.com/2021/01/02/us/politics/russia-hack.html
- Schmidt, E., & Cohen, J. (2013). The New Digital Age: Reshaping the Future of People, Nations and Business. Knopf.
- Segal, A. (2020). The Huawei Wars and the Struggle for Global Technology Leadership. Council on Foreign Relations. https://www.cfr.org/blog/huawei-wars-and-struggle-global-technology-leadership
- The Economic Times. (2022, November 10). Why India needs Rafale source code.https://economictimes.indiatimes.com/news/defence/why-india-needs-rafale-source-code/articleshow/95415715.cms
- The New York Times. (2021, May 13). Pipeline Attackers Used Compromised Password, F.B.I. Says.https://www.nytimes.com/2021/05/13/us/colonial-pipeline-hack.html
- Tikk, E. (2022). Cyber Dimensions of the Russia-Ukraine War. International Institute for Strategic Studies. https://www.iiss.org/blogs/analysis/2022/07/cyber-dimensions-of-the-russia-ukraine-war
- U.S. Department of State. (n.d.). The Clean Network. https://2017-2020.state.gov/the-clean-network/index.html
- UNCTAD. (2021). Digital Economy Report 2021: Cross-border data flows and development. United Nations.
- UNCTAD. (2022). Data and Digitalization for Development: Global South Perspectives on Sovereignty and Governance. United Nations Conference on Trade and Development. https://unctad.org/publication/data-digitalization-development
- World Economic Forum. (2023). Global Cybersecurity Outlook 2023.
- Zetter, K. (2021). The Colonial Pipeline Hack: What We Know and What We Don't. The Intercept. https://theintercept.com/2021/05/13/colonial-pipeline-ransomware-attack/