Kolaborasi Superkomputer & Kuantum: Efisiensi Tanpa Batas


Ilustrasi Supercomputer

Ilustrasi Supercomputer

Di era komputasi modern, para ilmuwan dan insinyur teknologi terus mencari cara untuk memaksimalkan potensi mesin-mesin super canggih yang kita miliki. Salah satu tantangan besar yang sedang dieksplorasi saat ini adalah bagaimana superkomputer (High Performance Computing/HPC) dapat bekerja selaras dengan komputer kuantum (Quantum Computing/QC). Kolaborasi ini bukan sekadar eksperimen ilmiah, melainkan langkah penting menuju masa depan komputasi yang lebih cepat, efisien, dan mampu menyelesaikan persoalan yang selama ini dianggap mustahil.

Sebuah penelitian terbaru dari tim ilmuwan di Eropa menunjukkan terobosan menarik. Mereka berhasil menguji metode baru untuk mengatur bagaimana superkomputer dan prosesor kuantum berbagi pekerjaan. Hasilnya, pendekatan ini dapat mengurangi pemborosan waktu, mempercepat proses komputasi, serta memanfaatkan sumber daya dengan lebih bijak. Studi yang dipublikasikan di arXiv ini menyoroti pentingnya konsep “malleability”, yaitu kemampuan perangkat lunak untuk melepaskan sumber daya komputasi yang tidak dipakai, lalu mengambilnya kembali ketika dibutuhkan.

Dengan pendekatan ini, masalah klasik berupa idle time (waktu menganggur) yang sering terjadi dalam sistem hibrida HPC–QC dapat ditekan. Artinya, pekerjaan bisa diselesaikan lebih cepat tanpa harus membiarkan ribuan inti prosesor superkomputer menganggur ketika menunggu giliran prosesor kuantum bekerja.

 
Tantangan Baru dalam Sistem Komputasi Hibrida

Komputer kuantum saat ini masih berada pada tahap awal pengembangan. Namun, potensinya sangat besar sehingga mulai dipadukan dengan superkomputer untuk menangani persoalan kompleks, seperti optimasi, simulasi material baru, hingga riset obat-obatan.

Meskipun demikian, integrasi HPC dengan QC tidaklah mudah. Mengapa? Karena arsitektur, cara kerja, dan karakteristik keduanya berbeda jauh.

Superkomputer klasik unggul dalam perhitungan numerik besar dan stabilitas. Ia mampu menjalankan simulasi berskala masif dengan presisi tinggi.
Komputer kuantum memiliki kekuatan dalam memproses masalah yang terkait dengan probabilitas, optimasi, dan simulasi sistem kuantum yang rumit.

Masalah muncul ketika sebuah pekerjaan hibrida memesan sumber daya HPC dan QC sepanjang waktu eksekusi, padahal dalam kenyataannya hanya salah satunya yang aktif dalam periode tertentu. Akibatnya, ribuan CPU HPC bisa menganggur ketika QPU (Quantum Processing Unit) bekerja, begitu pula sebaliknya. Mengingat jumlah QPU sangat terbatas (kadang hanya satu atau dua dalam satu klaster), kondisi ini bisa menyebabkan bottleneck serius.

 
Dua Pendekatan: Workflow dan Malleability

Untuk mengatasi masalah tersebut, tim peneliti dari E4 Computer Engineering, LINKS Foundation, Barcelona Supercomputing Center, CINECA, dan beberapa universitas mencoba dua pendekatan utama: Workflow Management System (WMS) dan Malleability.

  1. Workflow Management System (WMS)
    Pendekatan ini bekerja dengan cara memecah sebuah pekerjaan menjadi beberapa tugas terpisah. Setiap tugas dijadwalkan sesuai kebutuhan, sehingga penggunaan sumber daya HPC maupun QC lebih efisien.

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan StreamFlow WMS. Aplikasi hibrida dimodelkan sebagai loop tiga langkah:

    • Menjalankan beberapa algoritme klastering secara paralel di node HPC.
    • Menggabungkan hasilnya melalui rutinitas kuantum.
    • Mengevaluasi hasil, lalu memutuskan apakah perlu mengulang atau berhenti.

    Dengan cara ini, sumber daya kuantum hanya dipakai saat benar-benar diperlukan, dan node HPC bisa dilepaskan ketika tidak digunakan.

  2. Malleability
    Berbeda dengan workflow, pendekatan malleability memungkinkan sebuah aplikasi mengubah jumlah node komputasi yang digunakannya saat runtime.

    Dalam eksperimen, kerangka kerja Dynamic Management of Resources (DMR) dipakai untuk menyesuaikan alokasi HPC. Saat perhitungan beralih ke tahap kuantum, alokasi HPC diperkecil hanya menyisakan proses minimal agar tetap hidup. Setelah itu, ketika pekerjaan kembali ke tahap klasik, alokasi HPC diperluas lagi.

    Keunggulannya adalah tidak perlu antre ulang di sistem HPC. Artinya, node CPU yang tidak digunakan bisa segera dipakai oleh pekerjaan lain, meningkatkan efisiensi penggunaan klaster secara keseluruhan.

 
Studi Kasus: Klastering

Untuk menguji kedua pendekatan, para peneliti menggunakan algoritme agregasi klastering sebagai studi kasus. Prosesnya terdiri dari dua tahap:

  • Tahap klasik (HPC): tiga algoritme klastering dijalankan, yaitu k-means, DBSCAN, dan hierarchical clustering.
  • Tahap kuantum (QC): hasil dari tahap klasik digabungkan menjadi grafik, lalu diubah ke dalam bentuk Quadratic Unconstrained Binary Optimization (QUBO) untuk diproses oleh prosesor kuantum.

Karena mereka tidak memiliki QPU nyata, digunakan quantum emulator dengan penundaan buatan untuk meniru waktu eksekusi QPU.

 
Hasil Eksperimen

Eksperimen dilakukan di sebuah klaster kecil dengan tiga node CPU dan satu node kuantum (simulasi). Manajemen dilakukan menggunakan SLURM (Simple Linux Utility for Resource Management).

Tiga skenario diuji:

  • Baseline: alokasi statis HPC dan QPU sepanjang waktu eksekusi.
  • Workflow: hanya meminta sumber daya kuantum saat dibutuhkan.
  • Malleability: alokasi HPC berubah dinamis selama fase kuantum.

Temuan utama:

  • Baseline paling cepat untuk satu kali jalan, tetapi paling boros karena banyak sumber daya HPC menganggur.
  • Workflow lebih hemat penggunaan HPC, namun total waktu lebih lama karena harus bolak-balik meminta ulang sumber daya.
  • Malleability berada di tengah: menghemat banyak sumber daya tanpa menambah penundaan signifikan.

Ketika dua pekerjaan dijalankan bersamaan, malleability semakin unggul. Ia memungkinkan tumpang tindih pekerjaan lebih baik, sehingga total waktu penyelesaian lebih singkat.

Bahkan untuk fase kuantum yang sangat singkat (di bawah satu detik, seperti QPU superkonduktor), malleability tetap memberikan efisiensi yang lebih baik dalam penggunaan sumber daya.

 
Implikasi Bagi Integrasi HPC–QC

Penelitian ini memberikan wawasan penting bahwa penjadwalan statis tidak lagi memadai untuk pekerjaan hibrida. Di masa depan, ketika sistem HPC skala petascale atau exascale mulai digabungkan dengan prosesor kuantum, penjadwalan dinamis akan menjadi kunci agar mesin benar-benar bekerja optimal.

Namun, keduanya punya kelebihan dan kekurangan:

  • Workflow: efisien, tetapi membutuhkan desain aplikasi modular dan pemahaman alur kerja yang lebih rumit.
  • Malleability: lebih fleksibel dan bisa diterapkan pada kode yang sudah ada, namun menambah kerumitan dalam manajemen status program.
     

Batasan dan Arah Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini masih berskala kecil dan menggunakan simulasi QPU. Uji coba lebih besar dengan perangkat kuantum nyata diperlukan untuk melihat efektivitas di kondisi sebenarnya.

Selain itu, penelitian ini belum mempertimbangkan waktu antrean besar yang biasanya terjadi di sistem HPC bersama. Menariknya, hal ini justru bisa semakin menguntungkan pendekatan malleability, karena node HPC yang tidak terpakai bisa dialokasikan untuk pekerjaan lain alih-alih hanya menunggu.

Pesan utama dari studi ini jelas: kemajuan perangkat keras saja tidak cukup. Tanpa evolusi perangkat lunak dan sistem penjadwalan, performa nyata tidak akan tercapai. Dengan kata lain, “cara kita mengatur pekerjaan” bisa sama pentingnya dengan kecepatan prosesor kuantum itu sendiri.

 

Penutup

Integrasi antara superkomputer dan komputer kuantum bukan sekadar mimpi ilmuwan, melainkan jalan nyata menuju era komputasi generasi berikutnya. Penelitian dari tim Eropa ini menunjukkan bahwa penjadwalan dinamis melalui konsep malleability bisa menjadi kunci untuk memaksimalkan efisiensi sistem hibrida HPC–QC.

Meskipun masih dalam tahap awal, strategi ini membuktikan bahwa kecerdikan dalam perangkat lunak dan manajemen pekerjaan bisa sebanding pentingnya dengan inovasi perangkat keras. Ke depan, ketika superkomputer skala eksa digabung dengan QPU, metode ini dapat menjadi penentu apakah mesin super mahal tersebut benar-benar bekerja maksimal atau justru banyak terbuang menunggu giliran.

Dengan kata lain, masa depan komputasi bukan hanya ditentukan oleh seberapa cepat prosesor kita, tetapi juga oleh seberapa cerdas kita mengatur cara mereka bekerja bersama.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait