Prosesor Kuantum Google 13.000 Kali Lebih Cepat dari Frontier
- Rita Puspita Sari
- •
- 8 jam yang lalu
Ilustrasi Google Willow
Google kembali mencatat sejarah baru dalam dunia teknologi dan sains. Tim Google Quantum AI berhasil menunjukkan bahwa prosesor kuantum mereka mampu mengalahkan superkomputer tercepat di dunia hingga 13.000 kali lebih cepat dalam melakukan simulasi fisika yang sangat kompleks.
Dalam makalah ilmiah yang diterbitkan di jurnal Nature, para peneliti Google menggambarkan bagaimana prosesor kuantum 65-qubit milik mereka berhasil mengukur fenomena interferensi kuantum yang sangat halus, disebut second-order out-of-time-order correlator atau OTOC(2).
Untuk memberi gambaran betapa luar biasanya pencapaian ini, perhitungan yang dilakukan komputer kuantum tersebut hanya membutuhkan waktu 2 jam, sedangkan jika dilakukan di superkomputer Frontier — mesin klasik tercepat di dunia — akan memakan waktu sekitar 3,2 tahun. Artinya, eksperimen ini berjalan 13.000 kali lebih cepat.
Pencapaian ini menandai langkah besar menuju apa yang disebut para ilmuwan sebagai “keunggulan kuantum praktis” (practical quantum advantage) — yaitu kondisi ketika komputer kuantum tidak hanya lebih cepat, tetapi juga mampu menghasilkan data ilmiah bermakna yang tidak dapat disamai oleh komputer klasik dalam waktu yang wajar.
Quantum Echoes: Algoritma yang Mewujudkan Mimpi Feynman
Menurut Hartmut Neven, Wakil Presiden Teknik di Google, algoritma yang mereka gunakan disebut Quantum Echoes menjadi kunci utama dari terobosan ini.
“Algoritma kami berjalan 13.000 kali lebih cepat dibanding algoritma klasik terbaik di superkomputer paling kuat. Jadi, tugas yang dulu butuh waktu bertahun-tahun kini selesai dalam hitungan jam,” ujar Neven dalam konferensi pers.
“Lebih dari itu, hasilnya bisa diverifikasi langsung , baik dengan komputer kuantum lain yang cukup kuat, atau dengan eksperimen nyata di alam.”
Dengan kata lain, hasil simulasi kuantum tidak lagi hanya berupa perhitungan abstrak. Ia kini bisa diverifikasi dan dibuktikan secara eksperimental, menjadikan penelitian kuantum semakin dekat dengan penerapan dunia nyata, sesuai dengan impian fisikawan Richard Feynman beberapa dekade lalu: “Gunakan alam untuk meniru alam.”
Merekonstruksi Kekacauan Kuantum
Eksperimen ini mempelajari bagaimana informasi menyebar dan saling memengaruhi dalam sistem kuantum yang kompleks — suatu bidang yang sering disebut chaotic quantum systems atau sistem kuantum kacau.
Dalam sistem semacam itu, partikel-partikel kuantum saling berjerat (entangled) sehingga seluruh sistem menjadi sulit dipahami. Proses ini disebut scrambling, di mana detail mikroskopis menjadi tidak lagi terlihat, dan informasi tersebar ke seluruh sistem.
Masalahnya, komputer klasik tidak mampu memantau proses ini karena jumlah variabel yang harus dihitung bertambah secara eksponensial seiring jumlah qubit meningkat.
Untuk mengatasinya, tim Google menggunakan teknik bernama echo protocol yaitu semacam “pembalikan waktu” yang memungkinkan sistem kuantum dijalankan maju dan mundur, lalu hasilnya dibandingkan. Dengan cara ini, mereka dapat mengamati pola interferensi kuantum yang biasanya tersembunyi.
“Inti dari Quantum Echoes adalah kita mengembangkan sistem maju dan mundur dalam waktu,” jelas Tom O’Brien, peneliti senior di Google Quantum AI.
“Gangguan kecil di satu bagian sistem menyebar seperti efek kupu-kupu (butterfly effect), yang bisa dideteksi pada qubit lain yang jauh. Dan efek ini sangat sensitif terhadap detail evolusi waktu yang kita lakukan.”
Hasilnya, tim Google dapat mengamati interferensi konstruktif antara kombinasi operator kuantum yang dikenal sebagai Pauli strings. Dengan mengukur korelator tingkat dua (OTOC(2)), mereka berhasil menyingkap informasi yang tidak dapat dilihat oleh metode klasik.
Dalam bahasa sederhana, eksperimen ini memungkinkan para peneliti “melihat” bagaimana informasi kuantum bergerak, menyebar, dan kembali teratur di tengah kekacauan, sesuatu yang sebelumnya hanya bisa diprediksi secara teoretis.
Lompatan Besar dalam Kompleksitas Simulasi
Untuk menguji korelator tersebut, tim menggunakan lattice berisi 65 qubit superkonduktor, dengan serangkaian operasi acak satu dan dua qubit.
Mereka kemudian membandingkan hasil eksperimen dengan simulasi klasik menggunakan dua metode: tensor-network contraction dan Monte Carlo algorithms.
Hasilnya mencengangkan.
Simulasi kecil (sekitar 40 qubit) memang masih bisa direproduksi oleh komputer klasik setelah berhari-hari komputasi GPU, tetapi begitu jumlah qubit meningkat ke 65, tidak ada metode klasik yang mampu menirunya secara efisien.
Perhitungan menunjukkan bahwa Frontier, superkomputer dengan lebih dari 9.000 GPU, akan membutuhkan 3,2 tahun operasi non-stop untuk mencapai hasil yang sama. Sebaliknya, komputer kuantum Google hanya butuh 2,1 jam, termasuk waktu kalibrasi dan pembacaan data.
Perbedaan ini menempatkan eksperimen tersebut jauh di dalam zona beyond-classical, artinya melampaui batas kemampuan komputer klasik.
Selain itu, OTOC(2) memenuhi dua kriteria penting:
- Dapat diukur secara eksperimental dengan rasio sinyal terhadap noise yang cukup tinggi.
- Tidak dapat disimulasikan secara efisien oleh metode klasik, baik tepat maupun pendekatan.
Dengan demikian, penelitian ini bukan sekadar demonstrasi kecepatan, tetapi pembuktian ilmiah bahwa komputer kuantum kini menghasilkan informasi fisik yang benar-benar bermakna.
Menuju Keunggulan Kuantum yang Benar-Benar Berguna
Selanjutnya, tim Google menggunakan metode yang sama untuk tugas lain yang disebut Hamiltonian learning, yakni proses menemukan parameter fisika yang mengatur evolusi sistem kuantum.
Dalam eksperimen ini, mereka mengubah satu parameter fase dan membuktikan bahwa data OTOC(2) dapat membantu menemukan nilai yang benar dengan optimisasi sederhana.
Pendekatan ini membuka peluang baru: komputer kuantum sebagai alat diagnostik ilmiah. Misalnya, menganalisis bahan magnetik, memahami struktur molekul, hingga memetakan interaksi dalam material kompleks yang tak bisa diuraikan dengan metode klasik.
Jika dikembangkan lebih lanjut, teknik ini bisa menjadikan komputer kuantum sebagai simulator alam sejati, bukan hanya menghitung hukum alam secara matematis, tetapi mempelajarinya langsung dari eksperimen fisik.
Memperluas Kemampuan Spektroskopi NMR
Salah satu aplikasi paling menarik dari penelitian ini adalah dalam bidang resonansi magnetik nuklir (NMR), alat penting dalam kimia dan ilmu material.
Biasanya, NMR digunakan untuk mengukur interaksi magnetik antara inti atom guna memahami struktur molekul. Namun, sensitivitasnya menurun drastis jika jarak antar-atom terlalu jauh.
Tim Google menunjukkan bahwa dengan menggunakan algoritma Quantum Echoes, mereka bisa memodelkan interaksi antarspin yang lemah, memungkinkan pengukuran pada jarak yang sebelumnya tak terjangkau.
Hasilnya, mereka menciptakan semacam “penggaris molekuler yang lebih panjang”, yang memungkinkan ilmuwan melihat hubungan antar atom yang lebih jauh.
Menurut Michel Devoret, Kepala Ilmuwan Google dan peraih Nobel Fisika, algoritma ini bahkan dapat digunakan sebagai metode inversi yaitu membalik data eksperimen NMR untuk mengungkap struktur tersembunyi yang tidak dapat ditemukan oleh perhitungan klasik.
Potensi ini sangat besar. Dengan jangkauan NMR yang lebih luas, para ilmuwan bisa meneliti struktur protein kompleks, desain obat, hingga material kuantum baru dengan presisi yang belum pernah ada sebelumnya.
Keterbatasan dan Tantangan
Meski hasilnya spektakuler, para peneliti tetap berhati-hati.
Percepatan 13.000 kali lipat ini tidak berarti semua masalah komputasi akan mendapat keuntungan yang sama. Keunggulan ini hanya berlaku untuk jenis perhitungan tertentu, terutama yang melibatkan interferensi kuantum seperti OTOC.
Selain itu, eksperimen ini membutuhkan sirkuit yang sangat dioptimalkan dan teknik mitigasi kesalahan yang kompleks. Tingkat kesalahan operasi dua-qubit masih sekitar 0,15%, dan fidelitas sistem keseluruhan berada pada angka 0,001 setelah 40 siklus — cukup baik untuk penelitian, tapi belum cukup untuk komputasi kuantum bebas kesalahan (fault-tolerant quantum computing).
Meski begitu, ini tetap menjadi bukti kemajuan signifikan dalam kontrol dan stabilitas sistem kuantum, khususnya kemampuan membalik waktu secara presisi pada 65 qubit.
Menuju Masa Depan Komputasi Kuantum Praktis
Google menempatkan penelitian Quantum Echoes ini sebagai bagian penting dari enam tonggak peta jalan menuju komputer kuantum praktis.
Dua tonggak pertama yaitu quantum supremacy (2019) dan koreksi kesalahan kuantum (2023) sudah tercapai. Kini, eksperimen Quantum Echoes menjadi tonggak pertama dalam jalur perangkat lunak (software track).
Menurut Neven, dalam lima tahun ke depan, kita bisa melihat aplikasi nyata komputer kuantum seperti quantum-enhanced sensing, simulasi molekul kompleks, hingga sistem prediksi berbasis kuantum.
Google juga berkomitmen pada strategi dua jalur:
- Hardware track, meningkatkan kualitas dan jumlah qubit.
- Software track, mengembangkan algoritma yang memberikan keunggulan nyata di dunia nyata.
Dengan cara ini, Google tidak hanya mengejar kekuatan komputasi, tetapi juga membuktikan bahwa komputer kuantum bisa menjadi alat ilmiah yang benar-benar berguna bagi umat manusia.
