Peretas Mencuri 2,9 Miliar Data Sensitif dari NPD


Ilustrasi Cyber Security 1

Ilustrasi Cyber Security

Sebuah laporan mengejutkan mengungkapkan bahwa sekitar 2,9 miliar data sensitif telah dicuri oleh peretas di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan seberapa besar dampak dari serangan siber yang telah merambah ke banyak sektor, mulai dari kesehatan, finansial, hingga pendidikan. Data yang dicuri tidak hanya mencakup informasi pribadi, tetapi juga data keuangan dan akses ke akun-akun penting, menimbulkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan masyarakat dan perusahaan yang menjadi target.

Serangan terhadap data pribadi ini tidak terbatas pada Indonesia saja. Baru-baru ini terkuak bocoran dari sekelompok peretas, yang menimbulkan tanda tanya besar mengenai keamanan digital di seluruh dunia. Bocoran ini disertai dengan dokumen gugatan class action yang menjelaskan rincian tuntutan hukum terkait pencurian data sensitif tersebut, yang semestinya dilindungi dengan ketat.

Gugatan ini diajukan kepada National Public Data (NPD) di Amerika Serikat, yang bertanggung jawab atas pengelolaan informasi publik yang luas. NPD telah memberikan keterangan resmi mengenai insiden ini, yang mencakup informasi sensitif masyarakat AS seperti nomor jaminan sosial, alamat, dan data penting lainnya. Perwakilan NPD menegaskan bahwa situasi ini sangat serius dan mereka berupaya maksimal untuk menangani dampaknya secepat mungkin.

“Telah terjadi insiden keamanan data yang mungkin melibatkan informasi pribadi Anda. Insiden ini diindikasikan melibatkan aktor jahat dari pihak ketiga yang mencoba meretas data pada akhir Desember 2023, dengan kemungkinan kebocoran data tertentu pada April dan musim panas 2024,” kata perwakilan NPD, seperti dilansir dari laman Digitaltrends (21/8/2024). Pernyataan ini menggambarkan urgensi untuk tetap waspada dan mengambil tindakan perlindungan untuk mengurangi risiko lebih lanjut terhadap pengungkapan informasi pribadi.

Meskipun NPD tidak memberikan rincian spesifik mengenai kebocoran data mereka, situs web Jaksa Agung Maine mengungkapkan bahwa sekitar 1,3 juta individu telah terpengaruh oleh serangan ini. Angka ini menunjukkan betapa banyaknya orang yang mungkin harus menghadapi konsekuensi dari kebocoran tersebut, mulai dari pencurian identitas hingga kerugian finansial yang signifikan. Masyarakat pun semakin terdorong untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai keamanan siber, dengan harapan bisa melindungi diri mereka dari potensi ancaman di masa depan.

Hingga saat ini, belum ada informasi resmi mengenai korban di Inggris atau Kanada yang terdampak oleh kebocoran data tersebut. Meski demikian, NPD yang merupakan entitas pengelola data di AS, mengkonfirmasi bahwa mereka bekerja sama dengan pihak penegak hukum untuk meninjau data yang terkena serangan dan berkomitmen untuk memberi tahu individu yang terpengaruh jika terdapat perkembangan signifikan. Kerja sama ini mencakup analisis mendalam terhadap metode serangan dan jaringan yang terlibat, dengan harapan dapat memperkuat pertahanan sistem data di masa depan dan mencegah insiden yang serupa terjadi kembali.

Jumlah 1,3 juta data yang terkonfirmasi terpengaruh oleh serangan ini sangat mencolok dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Jika klaim mengenai kebocoran data 2,9 miliar pengguna terbukti akurat, hal ini akan menandai salah satu peretasan terbesar dalam sejarah modern, melebihi insiden-insiden besar sebelumnya yang pernah kita saksikan. Implikasi dari kebocoran ini tidak hanya terbatas pada individu yang secara langsung terpengaruh, tetapi juga dapat mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem keamanan data yang ada. Selain itu, pers perusahaan-perusahaan terkait di industri teknologi dan layanan data kemungkinan besar akan menghadapi tekanan untuk meningkatkan transparansi dan mengadopsi standar keamanan yang lebih ketat guna melindungi data pengguna dengan lebih efektif di era digital yang semakin kompleks ini.


Bagikan artikel ini

Video Terkait