Transfer Data: Konsesi yang Terlalu Mahal


Ilustrasi Transfer Data

Ilustrasi Transfer Data

Data bukan sekadar angka dalam server. Ia adalah cerminan dari identitas, perilaku, dan masa depan suatu bangsa.”

Di tengah sorak-sorai atas penurunan tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat menjadi 19 persen, sebuah pertanyaan besar menghantui ruang publik: apa yang sesungguhnya dikorbankan untuk mendapat potongan tarif itu? Jawabannya mungkin lebih mengkhawatirkan dari sekadar neraca dagang—yakni komitmen Indonesia untuk mentransfer data pribadi warganya ke luar negeri, termasuk ke Amerika Serikat. Ini bukan sekadar transaksi komersial, melainkan sebuah taruhan besar terhadap kedaulatan digital dan hak-hak privasi warga negara.

Indonesia boleh jadi mendapat potongan tarif yang menggembirakan dari Amerika Serikat—dari 32 persen menjadi 19 persen untuk produk ekspor kita. Namun, euforia ini seketika sirna saat publik mengetahui harga yang harus dibayar: komitmen untuk memfasilitasi transfer data pribadi warga negara ke Amerika Serikat. Apakah kita baru saja menukar kedaulatan digital dengan tarif dagang yang ilusi?

Inilah inti dari kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan AS, yang diam-diam menyelipkan klausul kontroversial terkait arus data lintas batas negara. Jika tidak disikapi secara serius, kita bukan hanya sedang menjajakan komoditas, tapi menyerahkan kontrol atas identitas digital jutaan warga ke tangan asing.

 

Diskon Tarif dan Kompensasi Tak Terlihat

Pada permukaan, kesepakatan dagang ini tampak menjanjikan. Penurunan tarif impor AS untuk produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen membuka peluang ekspor yang lebih luas bagi produsen dalam negeri. Produk-produk Indonesia, dari tekstil hingga barang elektronik, diharapkan lebih kompetitif di pasar Paman Sam. Namun, keuntungan ekonomi ini datang bersama komitmen Indonesia untuk membuka akses data pribadi ke luar negeri, terutama ke AS [2].

Ironisnya, barang dari Amerika Serikat akan masuk ke Indonesia dengan tarif 0 persen, menciptakan ketidakseimbangan yang patut dipertanyakan. Sementara produk kita bertarung dengan diskon tipis di pasar global, produk mereka justru digelontorkan tanpa beban tarif ke dalam negeri. Apakah ini benar-benar kesepakatan yang adil? Ataukah kita tengah menyaksikan bentuk baru kolonialisme ekonomi dalam kemasan kerja sama perdagangan?

 

Pemerintah: Manfaat Jangka Pendek dan Pijakan Hukum

Di tengah kritik yang menguat, pemerintah berargumen bahwa klausul transfer data bukan hanya konsesi sepihak, melainkan bagian dari upaya menjaga daya saing ekonomi digital Indonesia. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa kesepakatan ini membentuk pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur untuk menata arus data lintas negara—terutama terkait akses layanan digital seperti mesin pencari, media sosial, cloud, dan e‑commerce dari AS [4]. Lebih lanjut, Meutya menyatakan bahwa mekanisme transfer masih berada dalam tahap finalisasi dan disertai transparansi serta akuntabilitas, sehingga tidak dilakukan sembarangan [5]. Pemerintah berharap fleksibilitas ini memberi ruang bagi inovasi digital dan penguatan ekonomi digital nasional—meski mereka pun mengakui risiko jika pengawasan dan tata kelola tidak berjalan optimal.

 

Pasal Senyap: Transfer Data dalam Balutan Diplomasi Ekonomi

Poin paling kontroversial dari kesepakatan ini adalah klausul dalam Joint Statement yang menyebutkan bahwa Indonesia berkomitmen menghapus hambatan terhadap arus data lintas batas, serta menjamin kepastian hukum untuk transfer data pribadi ke Amerika Serikat [2].

Namun, kesenyapan klausul ini tidak berarti ringan dampaknya. Dalam konteks hukum nasional, UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) hanya mengizinkan transfer data lintas negara jika negara penerima memiliki tingkat pelindungan data pribadi yang setara [4].

Pasal 56 UU PDP secara eksplisit mengatur bahwa pengendali data hanya boleh mentransfer data pribadi ke luar negeri apabila negara tujuan memiliki tingkat pelindungan data yang setara atau lebih tinggi, atau jika ada perjanjian internasional, atau telah mendapat persetujuan dari otoritas pelindungan data. Ketentuan ini bertujuan mencegah penyalahgunaan data di yurisdiksi yang tidak memiliki standar perlindungan yang memadai.

Masalahnya, Amerika Serikat tidak memiliki undang-undang pelindungan data pribadi di tingkat federal. Pelindungan hanya diatur secara sektoral di masing-masing negara bagian dan industri, tanpa jaminan menyeluruh atau standar nasional. Karena perbedaan sistem pelindungan data, sejumlah ahli hukum menilai bahwa komitmen ini berisiko bertentangan dengan semangat dan substansi UU PDP [6].

 

Pakar: Ini Langkah Sensitif, Risiko Tinggi, dan Minim Pengawasan

Ardi Sutedja, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), menyebut kebijakan transfer data ini sebagai langkah sangat sensitif dan berisiko tinggi. Ia menyoroti bahwa klausul tersebut dimasukkan ke dalam kesepakatan perdagangan tanpa melibatkan komunitas keamanan siber atau Kementerian Komunikasi dan Digital secara memadai [3].

Ia juga mempertanyakan urgensi dan transparansi dari keputusan ini. Menurutnya, kepercayaan publik bisa rusak jika pemerintah terlihat gegabah dalam memperdagangkan data pribadi warganya. Menurut Ardi, ini bukan hanya soal diplomasi dagang, tapi juga menyangkut kredibilitas negara dalam melindungi rakyatnya di era digital.

Yang lebih krusial, menurutnya, AS tidak memiliki pelindungan hukum data pribadi yang memadai. “Yang ada cuma regulasi sektoral per industri atau negara bagian. Jadi siapa yang bisa jamin data kita aman di sana?” tegasnya [3]. Kekhawatiran ini bukan paranoia semata. Kasus Cambridge Analytica adalah bukti konkret bagaimana data bisa disalahgunakan untuk merekayasa opini publik secara masif, bahkan mempengaruhi hasil pemilu.

 

Ketika Teknologi Tak Netral dan Masyarakat Belum Siap

Lebih dari sekadar regulasi, isu ini menyentuh aspek budaya digital masyarakat Indonesia. Dalam sebuah diskusi keamanan siber, Ardi Sutedja menegaskan bahwa tidak ada teknologi yang sepenuhnya aman. Mayoritas masyarakat Indonesia hanyalah pengguna pasif yang tidak memahami risiko dan struktur sistem digital yang mereka gunakan [1].

Ia memperkenalkan konsep centric awareness—kesadaran menyeluruh yang harus dibangun dari individu hingga institusi untuk mengenali ancaman dan membentuk respons sebelum serangan siber terjadi. Ia bahkan menyebut ruang digital sebagai mayantara, hutan belantara yang penuh predator tak dikenal. Dalam kondisi ini, pengguna harus memiliki helicopter view, alias pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem digital yang mereka masuki [1].

Kecanggihan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) bahkan telah dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber. Mulai dari pembuatan wajah palsu, suara tiruan, hingga aplikasi deepfake yang bebas beredar di toko aplikasi digital—semua itu memperbesar celah penipuan yang sulit dideteksi jika masyarakat tidak memiliki kepekaan digital [1].

 

Efek Domino: Dari Kehilangan Investasi Hingga Goyangnya Lokalisasi Data

Transfer data ke AS juga memiliki implikasi besar bagi ekosistem digital nasional. Jika perusahaan asing dapat dengan mudah memproses data di luar negeri, maka insentif untuk membangun pusat data di Indonesia otomatis berkurang. Akibatnya, investasi digital akan mandek, industri cloud lokal melemah, dan potensi lapangan kerja ikut menguap [3].

Sebagian pengamat memperingatkan bahwa jika tren ini dibiarkan, Indonesia berisiko menjadi pemasok bahan baku informasi digital—data mentah yang diolah dan dimonetisasi di luar negeri, tanpa nilai tambah kembali ke dalam negeri. Ada kekhawatiran bahwa tanpa regulasi yang kuat, Indonesia hanya akan menjadi sumber pasokan data global tanpa pengaruh dalam rantai nilai digital.

Lebih buruk lagi, jika AS mendapat perlakuan istimewa, negara lain bisa menuntut hak serupa. Tekanan ini bisa menggoyahkan kebijakan lokalisasi data yang selama ini diperjuangkan Indonesia demi kemandirian digital.

 

Kebutuhan Mendesak: Otoritas PDP dan Pengawasan Independen

Di tengah dinamika ini, kebutuhan untuk segera membentuk Otoritas Pelindungan Data Pribadi (PDP) menjadi semakin mendesak. Lembaga ini harus independen, punya otoritas hukum kuat, serta didukung kapasitas analitik dan intelijen digital yang mumpuni. Tanpa itu, Indonesia hanya akan menjadi pasar data global tanpa kendali [3].

Ardi juga menyoroti lemahnya kesiapan banyak institusi nasional menghadapi ancaman siber. Menurutnya, sebagian besar organisasi hanya punya rencana keamanan siber di atas kertas, tapi tak pernah melakukan simulasi nyata. Ketika serangan benar-benar terjadi, mereka hanya bisa panik karena tak siap secara operasional [1].

 

Penutup: Jangan Tergoda Diskon, Abaikan Kedaulatan

Tarif ekspor yang lebih rendah memang menggiurkan. Namun, nilai data pribadi—yang mencerminkan perilaku, pilihan, dan bahkan masa depan warga—melampaui angka dalam neraca dagang. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal identitas dan kendali.

Pemerintah harus bertindak segera:

  • Menjamin bahwa setiap transfer data ke luar negeri mematuhi UU PDP sepenuhnya, termasuk Pasal 56 tentang perlindungan setara.
  • Membuka klausul-klausul sensitif untuk pengawasan publik dan legislatif, bukan sekadar hasil lobi diplomatik tertutup.
  • Membentuk Otoritas Pelindungan Data Pribadi yang independen dan kuat, dengan kapasitas teknis serta kewenangan yang jelas.
  • Mengajak masyarakat dan industri lokal membangun sistem digital yang berdaulat, bukan hanya menjadi konsumen teknologi global.

Kepada Presiden, parlemen, dan pemangku kebijakan: jangan tukar kendali atas data warga dengan janji pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Kepada masyarakat: sadarilah bahwa ruang digital adalah ruang kedaulatan baru.

Jika kelengahan ini dibiarkan, ada kekhawatiran bahwa bangsa ini akan menjadi pemasok data mentah bagi kekuatan asing—alih-alih mengelola masa depan digitalnya sendiri.

"Data adalah aset strategis—bukan komoditas murahan yang bisa dipertukarkan begitu saja. Jika kita lalai mempertahankan kendali atas ruang digital, maka esok kita hanya akan jadi konsumen di negeri sendiri."

 

Referensi

[1] ANTARA News. (2025, 24 Juli). Cegah kejahatan siber butuh kesadaran dan antisipasi teknologi. https://www.antaranews.com/berita/4989209/cegah-kejahatan-siber-butuh-kesadaran-dan-antisipasi-teknologi

[2] CNN Indonesia. (2025, 23 Juli). Kesepakatan dagang, Indonesia bisa transfer data pribadi ke AS. https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20250723104659-185-1253874/kesepakatan-dagang-indonesia-bisa-transfer-data-pribadi-ke-as

[3] detikINET. (2025, 24 Juli). Transfer data WNI ke AS disorot, pakar: Langkah sensitif, risiko tinggi. https://inet.detik.com/security/d-8027061/transfer-data-wni-ke-as-disorot-pakar-langkah-sensitif-risiko-tinggi

[4] Katadata.co.id. (2025, 24 Juli). Menkomdigi buka suara soal transfer data WNI ke AS: Legal dan tak sembarang.  https://katadata.co.id/digital/teknologi/6881b7f21a394/menkomdigi-buka-suara-soal-transfer-data-wni-ke-as-legal-dan-tak-sembarang

[5] Liputan6. (2024, 24 Juli). Menkomdigi: Transfer data pribadi ke AS akan transparan dan akuntabel. https://www.liputan6.com/tekno/read/6113517/menkomdigi-transfer-data-pribadi-ke-as-akan-transparan-dan-akuntabel

[6] Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). https://peraturan.bpk.go.id/Details/229798/uu-no-27-tahun-2022

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait