Iran vs Israel: Cyber-Kinetic Warfare & Ancaman Spillover Global


Ilustrasi Cyberwarfare

Ilustrasi Cyberwarfare

Konflik antara Israel dan Iran pada Juni 2025 menandai babak baru dalam sejarah perang modern. Medan pertempuran kini tak hanya di darat dan udara, tetapi juga di ruang maya. Dalam dunia digital, peperangan bisa terjadi tanpa suara ledakan—cukup satu klik untuk melumpuhkan jaringan, menghentikan transaksi, atau membungkam media. Teknologi memperluas jangkauan kontrol, namun sekaligus membuka kerentanan baru. Inilah paradoks utama perang siber: semakin canggih, semakin rentan. (Baca juga: Apa Itu Cyberwarfare? – Cyberhub.id)

The Wall Street Journal (16 Juni 2025) mencatat, “Cyber capabilities offer a strategic avenue for broader, geographically dispersed retaliation”—menunjukkan bahwa dunia maya menjadi panggung kekuatan asimetris yang destruktif.

Peperangan abad ke-21 bersifat multidimensi: satu serangan siber dapat mengguncang ekonomi, merusak kepercayaan publik, dan menurunkan detak sosial di masyarakat yang bergantung pada infrastruktur digital. Konflik ini memaksa kita meninjau ulang batas antara data dan kekuasaan, antara kode dan strategi geopolitik.

Lebih jauh, keterlibatan aktor besar seperti Amerika Serikat dan potensi terbentuknya aliansi digital global—dengan Tiongkok atau Rusia mendukung Iran—menunjukkan bahwa ruang siber bisa menjadi arena diplomasi baru sekaligus sumber ketegangan internasional.

 

Gelombang Serangan Siber: Eskalasi Konflik Iran–Israel di Ranah Digital

Ketegangan antara Iran dan Israel dalam beberapa pekan terakhir tidak hanya terjadi dalam ranah fisik, tetapi juga menjalar ke ranah siber. Serangkaian serangan digital yang intensif menunjukkan bagaimana perang modern semakin mengandalkan teknologi untuk mencapai tujuan strategis dan politik. Perang siber ini menyasar infrastruktur penting dan berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi dan sosial kedua negara secara signifikan.

Catatan: Seluruh informasi dan analisis dalam bagian ini disusun berdasarkan laporan media dan sumber terbuka yang tersedia hingga 23 Juni 2025. Mengingat dinamika konflik yang sangat cepat dan kompleks, perkembangan lanjutan bisa saja terjadi di luar cakupan waktu tersebut. Selain itu, sebagian besar data berasal dari klaim pihak terkait dan pemberitaan media, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam interpretasi dan atribusi serangan. Meski demikian, insiden-insiden yang tercatat memberikan gambaran awal mengenai intensitas dan kompleksitas medan tempur digital yang tengah berlangsung.

Serangan DDoS ke Infrastruktur Informasi Iran. Ketegangan meningkat ketika kelompok peretas pro-Israel melancarkan serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS) terhadap salah satu bank besar di Iran serta lembaga penyiaran milik negara, IRIB News. Serangan ini membanjiri server dengan lalu lintas digital yang sangat masif, sehingga situs-situs tersebut tidak dapat diakses oleh publik. Tujuan utama serangan ini bukan hanya gangguan teknis, tetapi juga pesan simbolis bahwa sistem digital Iran rentan dan bisa lumpuh hanya dengan serangan siber. Aksi yang dikenal dengan nama “Predatory Sparrow” ini menandai bahwa kendali atas informasi dan layanan vital bisa terganggu dari jarak jauh, menjadi alat propaganda sekaligus ancaman nyata. (BloombergTechnoz, 18 Juni 2025)

Pemadaman Internet Nasional oleh Iran. Merespons meningkatnya intensitas serangan siber, pemerintah Iran mengambil langkah drastis dengan mematikan akses internet dan jaringan komunikasi nasional. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya preventif untuk melindungi infrastruktur digital dari serangan yang dianggap mengancam stabilitas negara. Otoritas juga meminta warga menghapus aplikasi WhatsApp, dengan tuduhan aplikasi tersebut digunakan menyebarkan spyware Israel—klaim yang dibantah oleh pihak WhatsApp. Meskipun bertujuan untuk keamanan, langkah ini memicu kontroversi karena berisiko memperburuk kondisi ekonomi, komunikasi publik, dan stabilitas sosial dalam negeri. (BloombergTechnoz, 20 Juni 2025)

Iran Gagalkan Serangan Siber Besar-Besaran. Hanya sehari setelah pemadaman, Iran mengklaim berhasil menggagalkan sejumlah serangan siber besar yang menargetkan sektor perbankan nasional dan lembaga penyiaran negara. Klaim ini menunjukkan bahwa medan perang digital kini berlangsung di lapisan terdalam sistem informasi kritikal negara. Serangan pada sektor finansial bukan sekadar sabotase ekonomi, tetapi juga upaya untuk meruntuhkan stabilitas psikologis masyarakat. Jika kepercayaan terhadap sistem keuangan ambruk akibat manipulasi digital, hal ini berpotensi melemahkan legitimasi pemerintah dan memperparah ketegangan dalam negeri. (MetroTVNews, 19 Juni 2025)

Pembobolan Platform Kripto Nobitex. Konflik siber memasuki fase yang sangat merugikan secara ekonomi ketika kelompok peretas pro-Israel berhasil menembus keamanan Nobitex, platform kripto terbesar di Iran. Mereka mencuri aset digital senilai sekitar US$90 juta atau setara Rp1,4 triliun. Peristiwa ini menyoroti dua hal utama: pertama, kelemahan signifikan dalam keamanan platform ekonomi digital Iran; kedua, bahwa dalam era digital, serangan ekonomi dapat dilakukan tanpa perlu kontak fisik atau melewati batas geografis. Insiden ini menjadi contoh nyata cyber-heist geopolitik yang berpotensi melumpuhkan ekosistem finansial musuh secara masif. (CNBC Indonesia, 20 Juni 2025)

Iran Retas Kamera Pengawas di Israel. Konflik digital semakin intens ketika otoritas Israel mengungkap bahwa Iran berhasil meretas sistem kamera pengawas di wilayah mereka. Data yang diperoleh dari kamera ini digunakan untuk meningkatkan akurasi serangan rudal terhadap target-target di Israel. Serangan ini menunjukkan bagaimana perang siber kini telah menyatu dengan operasi militer konvensional, di mana informasi digital langsung memengaruhi strategi dan eksekusi serangan fisik di lapangan. (BeritaSatu, 21 Juni 2025)

Fenomena ini menjadi contoh nyata dari cyber-kinetic warfare, di mana serangan digital berdampak langsung pada kemampuan tempur di dunia nyata. Beberapa analisis menyebut bahwa sistem teknologi operasional (Operational Technology/OT)—seperti sistem pertahanan udara dan kontrol infrastruktur vital—bisa mencerminkan ketimpangan kekuasaan global, karena dikuasai oleh aktor-aktor dominan secara geopolitik. Namun, ketika sistem ini dapat ditembus dan diputarbalikkan menjadi sarana perlawanan, ruang digital berubah dari alat dominasi menjadi medan antikolonial yang baru.

Rangkaian insiden ini memperlihatkan pola integrasi strategi militer tradisional dengan kekuatan digital yang semakin kompleks. Konflik ini tidak sekadar aksi balas dendam digital, tetapi bagian dari strategi jangka panjang yang menyasar fondasi negara musuh — mulai dari sistem keuangan, kontrol informasi, hingga intelijen militer. Jika tidak segera dikendalikan, eskalasi ini berpotensi meluas menjadi konflik siber global dengan dampak luas bagi stabilitas regional maupun internasional.

 

Integrasi Siber-Kinetik dan Ancaman terhadap Infrastruktur Kritis

Rangkaian serangan siber yang terjadi antara Iran dan Israel menandai fase baru dalam konflik militer, yaitu integrasi antara serangan digital dan aksi kinetik di dunia nyata, yang dikenal sebagai cyber-kinetic integration. Konsep ini menggambarkan bagaimana serangan siber tidak lagi berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan operasi militer konvensional yang berdampak fisik langsung, terutama dalam konteks pertahanan dan keamanan nasional. Dalam perang modern, serangan siber dapat digunakan untuk melemahkan infrastruktur musuh sekaligus mendukung serangan fisik, menciptakan efek sinergis yang memperbesar kerusakan dan ketidakstabilan. Seperti yang disampaikan oleh para ahli, serangan siber kini menjadi ujung tombak strategi militer modern, dan negara yang gagal mengamankan infrastruktur digitalnya rentan lumpuh dalam hitungan detik.

Menurut Dykstra, Inglis, dan Walcott (19 November 2020), "Understanding the distinct but complementary roles of kinetic and cyber weapons is critical to improving integrated combat capabilities," yang menunjukkan pentingnya menyelaraskan serangan siber dan kinetik untuk efektivitas operasi militer. Mereka menambahkan, "Cyber weapons can create strategic effects that directly influence the physical battlefield, blurring the lines between digital and kinetic warfare."

Target utama dari serangan ini adalah infrastruktur kritis atau vital seperti jaringan listrik, sistem komunikasi, serta ekonomi digital dan pusat komando militer. Dampak serangan-serangan ini bersifat sistemik dan berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial, sekaligus melemahkan kesiapan militer kedua negara. Ketika sistem digital dan fisik saling terkait, serangan siber dapat menyebabkan efek domino yang melumpuhkan tidak hanya jaringan teknologi, tetapi juga aspek kehidupan masyarakat dan keamanan nasional. Fenomena cyber-kinetic integration ini menunjukkan pergeseran paradigma dalam cara negara menghadapi perang dan keamanan. Ancaman siber tidak hanya bisa merusak data atau mencuri informasi, tetapi juga dapat menimbulkan kerusakan nyata pada fasilitas fisik, memperparah konflik konvensional, dan mempercepat eskalasi ketegangan antarnegara.

 

Dinamika Strategis Global dan Munculnya Blok Siber

Eskalasi digital yang berkembang antara Iran dan Israel bukan hanya menimbulkan dampak teknis jangka pendek, tetapi juga berpotensi mengubah lanskap geopolitik global. Penetrasi digital lintas batas kini membuka ruang bagi terbentuknya blok-blok kekuatan baru berbasis kapabilitas siber. Negara-negara mulai terdorong untuk mengambil sikap—baik dalam bentuk solidaritas digital maupun resistensi terhadap tekanan siber dari aktor eksternal.

Geopolitik Siber dan Polarisasi Kawasan. Serangan siber berskala besar memaksa negara-negara tetangga, khususnya di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara, untuk tidak lagi bersikap netral. Risiko gangguan sistemik terhadap infrastruktur digital dan sektor ekonomi vital mendorong kawasan seperti ASEAN untuk memperkuat kerja sama keamanan siber, mempercepat harmonisasi regulasi, serta meningkatkan sistem deteksi dan respons. Pertanyaan strategis muncul: apakah negara-negara akan bergabung dengan blok keamanan digital yang dipimpin Amerika Serikat dan NATO, atau memilih poros alternatif seperti Tiongkok dan Rusia? Polarisasi geopolitik digital ini membentuk medan persaingan baru yang belum memiliki kerangka norma internasional yang memadai. The Diplomat (14 Mei 2024) menegaskan bahwa ASEAN sebaiknya berupaya menghindari keterlibatan langsung dalam konflik siber dengan memperkuat norma diplomasi demi mencegah kawasan menjadi arena pertarungan kekuatan besar.

Hegemoni digital kini mulai menggantikan dominasi militer tradisional, dengan pusat kekuatan global beralih dari kekuatan senjata ke penguasaan infrastruktur dan kontrol informasi (Cyberhub.id, 27 Mei 2025). Konflik siber antara Iran dan Israel memperlihatkan bagaimana kendali atas sistem siber-fisik dan integrasi siber-kinetik menjadi senjata strategis. Sistem pertahanan udara Israel, yang selama ini menjadi simbol dominasi teknologi, dapat berbalik fungsi menjadi medan perlawanan ketika diretas dan diserang secara digital terintegrasi oleh Iran. Konflik siber ini menegaskan bahwa penguasaan infrastruktur digital bukan hanya memperkuat kekuatan militer, tetapi juga menjadi instrumen pengaturan norma global dan proyeksi kekuasaan. Polarisasi kawasan dan kemunculan blok-blok siber merupakan manifestasi persaingan yang melampaui sekadar ideologi, menuju perebutan dominasi arsitektur digital global.

Aliansi Siber Global. Iran secara terbuka menuduh Amerika Serikat berada di balik berbagai serangan digital yang menargetkan infrastrukturnya. Jika AS merespons secara aktif dan Tiongkok atau Rusia meningkatkan dukungan digital ke Iran, maka terbuka kemungkinan terbentuknya konfigurasi baru berupa aliansi siber global. The Wall Street Journal (16 Juni 2025) mencatat “Cyber, however, could provide an avenue for Iran to inflict wider damage on Israel and its allies.” Pernyataan ini menegaskan bahwa ruang digital kini menjadi saluran strategis baru yang efisien dan dapat digunakan untuk serangan jarak jauh lintas negara.

Resonansi terhadap Dunia Usaha Global. Konflik ini juga mengguncang sektor swasta global. Axios (17 Juni 2025) melaporkan bahwa: “U.S. companies brace for Israel–Iran cyber spillover.” Perusahaan-perusahaan kini menyadari bahwa mereka tidak kebal terhadap konflik geopolitik digital. The Wall Street Journal (16 Juni 2025) memperingatkan bahwa: “Cyber capabilities offer a strategic avenue for broader, geographically dispersed retaliation.” Ketegangan ini mendorong perusahaan untuk menganggap keamanan siber bukan lagi sekadar isu teknis internal, tetapi bagian integral dari manajemen risiko geopolitik.

Respons Global yang Diperlukan. Negara-negara non-terlibat harus segera meningkatkan pertahanan siber nasional, termasuk melalui forum multilateral non-blok. Di tingkat ASEAN, misalnya, dapat digagas Cyber Confidence-Building Measures (CBMs), latihan siber bersama, dan pertukaran intelijen digital regional. Secara global, diperlukan diplomasi digital yang lebih aktif untuk merumuskan norma-norma internasional terkait legalitas serangan siber dalam konflik internasional, prinsip proporsionalitas dalam respons digital, dan mekanisme tanggap darurat siber multinasional. The Wall Street Journal (16 Juni 2025) menegaskan “Companies are being urged to shore up cyber defenses as the risk of Iranian retaliation grows.” Artinya, perusahaan kini tidak lagi sekadar entitas ekonomi, tetapi bagian dari ekosistem pertahanan digital global.

Konflik ini tidak sekadar membentuk aliansi baru di dunia maya. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, efeknya menjalar secara subtil ke wilayah-wilayah yang tidak terlibat langsung. Asia Tenggara, yang sebelumnya berada di luar radar konflik, kini menjadi kawasan strategis dalam peta keamanan siber global.

 

Efek Tumpahan Konflik Digital ke Negara Lain

Ketegangan digital antara Iran dan Israel bukan lagi sekadar konfrontasi regional. Dalam era digital yang sepenuhnya terhubung, serangan terhadap satu negara berpotensi memicu gangguan sistemik yang menjalar lintas batas. Interkoneksi antara infrastruktur finansial, jaringan komunikasi global, dan rantai pasok digital menciptakan kerentanan kolektif yang memungkinkan efek tumpahan (spillover) terjadi secara cepat dan tak terduga.

Risiko Spillover ke Asia Tenggara dan Global South. Kawasan Asia Tenggara, bersama negara-negara Global South lainnya, berada dalam posisi rentan meskipun tidak terlibat langsung dalam konflik. Infrastruktur digital regional—mulai dari pusat data dan jalur komunikasi internasional, hingga sistem pembayaran lintas negara—berpotensi menjadi titik transit atau bahkan sasaran sekunder dalam konflik yang lebih besar. Selain itu, komunitas diaspora Iran dan Israel yang tersebar di berbagai negara juga rentan terhadap serangan rekayasa sosial seperti phishing, penyebaran malware, serta kampanye disinformasi, yang bisa memicu keresahan publik dan bahkan konflik horizontal.

Konflik Tak Kasat Mata di Wilayah Netral. Tidak semua serangan harus bersifat fisik atau berskala besar. Serangan siber yang menyasar kepercayaan publik, mengguncang stabilitas platform digital lokal, atau memanipulasi opini publik melalui media sosial, sering kali lebih efektif dalam menciptakan ketegangan di negara yang tidak menjadi aktor utama. Dengan demikian, garis depan peperangan kini tidak lagi terbatas pada wilayah geografis, melainkan juga meluas ke dalam jaringan digital dan ruang kesadaran kolektif masyarakat.

Pentingnya Diplomasi Siber Preventif. Dalam menghadapi dinamika yang kompleks ini, diplomasi siber menjadi instrumen kunci bagi negara-negara netral seperti Indonesia. Peran aktif dalam merancang norma internasional, mendorong transparansi siber, serta mengembangkan protokol tanggap darurat kolektif menjadi elemen strategis untuk menjaga stabilitas kawasan. Tanpa kerangka hukum dan respons teknis yang solid, konflik siber berskala regional seperti ini akan terus membayangi keamanan nasional dan membuka celah bagi eskalasi lintas batas yang tidak terkontrol.

 

Anatomi Konflik Siber dari Berbagai Perspektif

Konflik siber—atau lebih tepatnya, perang siber—antara Iran dan Israel tidak dapat dipahami semata-mata sebagai rangkaian insiden teknis atau aksi digital terputus-putus. Ini adalah bentuk baru dari konfrontasi strategis antarnegara, di mana ruang maya menjelma menjadi medan pertarungan yang kompleks, tidak kasat mata, dan multidimensional. Serangan siber kini berfungsi tidak hanya sebagai alat gangguan teknis, tetapi juga sebagai instrumen diplomasi koersif, senjata ekonomi, dan medium propaganda politik. Untuk itu, konflik ini perlu dibaca secara holistik, melintasi berbagai dimensi: dari keamanan nasional, ekonomi digital, geopolitik global, hingga ranah hukum dan etika internasional.

Perspektif Keamanan Nasional. Dari sudut pandang pertahanan, serangan terhadap infrastruktur kritis seperti bank, platform kripto, dan sistem pengawasan militer menandai peningkatan dramatis dalam spektrum ancaman nasional. Negara-negara kini menghadapi risiko tidak hanya dari serangan kinetik, tetapi juga dari gangguan digital yang bisa melumpuhkan komunikasi, logistik, bahkan kendali komando militer. Keberhasilan Iran dalam menahan sebagian serangan serta meluncurkan serangan balasan terhadap Israel menunjukkan bahwa kapabilitas siber telah menjadi inti dari strategi pertahanan dan penangkal strategis. Realitas ini menuntut negara-negara lain untuk membangun arsitektur pertahanan siber yang bukan hanya kuat, tetapi juga adaptif dan terintegrasi.

Perspektif Ekonomi Digital. Penargetan terhadap sektor kripto dan perbankan Iran, seperti yang terjadi pada platform Nobitex, memperlihatkan betapa besar risiko sistemik dari konflik digital. Peretasan aset digital senilai puluhan juta dolar menunjukkan bahwa sistem keuangan berbasis teknologi tinggi tidak kebal terhadap sabotase geopolitik. Selain kerugian material, gangguan pada layanan keuangan dan komunikasi menciptakan ketidakpastian pasar dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap infrastruktur ekonomi digital. Oleh karena itu, ketahanan siber menjadi bukan sekadar isu teknis, melainkan bagian krusial dari stabilitas makroekonomi dan proteksi terhadap kedaulatan ekonomi nasional.

Perspektif Geopolitik. Konflik siber Iran–Israel mencerminkan bagaimana teknologi digital memperluas arena dan taktik dalam konflik geopolitik. Serangan siber digunakan tidak hanya untuk melumpuhkan musuh, tetapi juga sebagai instrumen tekanan psikologis dan diplomasi koersif yang dapat mempengaruhi opini publik internasional. Kekuatan ofensif dalam domain digital memungkinkan negara seperti Iran, yang mungkin secara konvensional tertinggal secara militer, untuk menyeimbangkan kekuatan melalui infiltrasi, sabotase, dan propaganda siber. Dalam tataran ini, teknologi menjadi alat strategis untuk membangun ulang keseimbangan kekuasaan regional maupun global tanpa keterlibatan fisik langsung.

Perspektif Hukum dan Etika Internasional. Di tengah eskalasi konflik digital, muncul kekosongan normatif yang mengkhawatirkan. Identifikasi pelaku seringkali sulit dibuktikan secara forensik, sementara tanggapan terhadap serangan acapkali jatuh ke dalam wilayah abu-abu legal. Serangan terhadap infrastruktur sipil, seperti rumah sakit, sistem air, atau jaringan listrik, juga menimbulkan konsekuensi kemanusiaan yang serius. Pertanyaan mendasar pun muncul: sejauh mana serangan siber dapat dianggap sebagai act of war? Bagaimana prinsip proporsionalitas dan non-kombatan diberlakukan dalam ruang digital? Situasi ini menegaskan perlunya pembentukan norma internasional yang tegas, adil, dan humanistik—agar perang digital tidak berkembang menjadi bentuk baru dari kekerasan tak terkendali.

 

Implikasi bagi Indonesia: Strategi Menghadapi Konflik Siber Global

Di tengah meningkatnya konflik siber global, khususnya antara Iran dan Israel, posisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan ekonomi digital yang sedang berkembang menjadi sangat penting. Meskipun tidak terlibat langsung, Indonesia tidak dapat mengabaikan dampak konflik ini yang berpotensi mengganggu stabilitas ekosistem digital nasional. Oleh karena itu, pertanyaan kunci yang harus dijawab adalah: bagaimana Indonesia sebaiknya bersikap dalam menghadapi ancaman dan peluang di era perang siber ini? Bagian ini menguraikan sejumlah strategi dan posisi yang dapat dipertimbangkan Indonesia untuk menjaga kedaulatan digital, stabilitas nasional, dan peran aktif di kancah global.

Memperkuat Ketahanan Siber Nasional. Langkah awal yang krusial adalah membangun sistem pertahanan siber nasional yang terpadu dan menyeluruh. Ini mencakup percepatan implementasi regulasi strategis seperti Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Peraturan Presiden tentang Pelindungan Infrastruktur Informasi Vital (IIV)—khususnya pada sektor keuangan, energi, dan layanan publik. Selain itu, percepatan penyusunan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS), serta pengembangan sovereign cloud dan pusat data nasional menjadi sangat penting untuk menjamin kedaulatan digital. Koordinasi antara lembaga seperti BSSN, TNI, Kominfo, dan sektor swasta harus diperkuat dalam kerangka respons terpadu dan terkoordinasi. Dalam era konflik siber, pertahanan negara tidak lagi hanya berada di garis perbatasan fisik, tetapi juga tersembunyi dalam sistem enkripsi dan server digital.

Netral Aktif di Forum Global. Indonesia harus mengambil posisi netral aktif dalam kancah diplomasi digital global. Sebagai anggota G20 dan pendukung multilateralisme, Indonesia perlu mendorong terbentuknya norma internasional tentang proporsionalitas dan legalitas serangan siber, termasuk melalui PBB dan ASEAN. Indonesia juga dapat menjadi inisiator dialog antarnegara mengenai aturan main dalam perang siber — semacam Konvensi Jenewa Digital. Menjaga jarak dari blok digital AS-Tiongkok juga krusial agar tidak terseret ke dalam eskalasi konflik digital yang tidak relevan bagi kepentingan nasional.

Melindungi Ekonomi Digital dan Startup Lokal. Ekonomi digital Indonesia yang sedang berkembang harus dilindungi dari potensi serangan siber, pencurian data, atau sabotase sistem. Pemerintah perlu mendorong regulasi sertifikasi keamanan digital minimum bagi platform digital yang beroperasi di Indonesia. Selain itu, pendampingan bagi startup lokal dalam hal keamanan siber sangat penting, agar mereka tidak menjadi mata rantai lemah yang bisa dieksploitasi oleh aktor asing dalam konflik siber global.

Kepemimpinan Regional dalam Diplomasi Siber ASEAN. Sebagai kekuatan utama di Asia Tenggara, Indonesia dapat memainkan peran sentral dalam mendorong kolaborasi regional untuk menghadapi ancaman siber. Salah satunya adalah dengan menginisiasi Cyber Confidence-Building Measures (CBMs) antarnegara ASEAN — termasuk latihan bersama, mekanisme berbagi informasi intelijen, dan pembangunan kapasitas teknis. ASEAN tidak boleh menjadi wilayah abu-abu yang rentan disusupi kepentingan siber asing.

Konsistensi Politik Luar Negeri: Pro-Palestina Tanpa Terjebak Polarisasi. Dukungan Indonesia terhadap perjuangan Palestina tetap harus dijaga sebagai bagian dari prinsip politik luar negeri bebas-aktif. Namun, dalam konteks konflik Iran-Israel yang kini merambah ke ranah digital, Indonesia perlu tetap bijak agar tidak terjebak dalam narasi yang mempolarisasi. Mendukung kemanusiaan tidak harus berarti membenarkan semua tindakan negara tertentu. Oleh karena itu, posisi Indonesia sebaiknya berbasis pada hukum internasional, HAM, dan stabilitas kawasan.

 

Penutup

Konflik siber — atau lebih tepatnya perang siber — antara Iran dan Israel pada Juni 2025 bukan sekadar konflik regional, tetapi titik balik dalam evolusi konflik global. Serangan digital kini tak hanya bersifat sabotase, melainkan menyasar ekonomi, psikologi publik, dan sistem pertahanan—memasuki era cyber-kinetic warfare di mana ruang maya dan dunia fisik saling terjalin erat.

Peretasan Nobitex, pemadaman internet, dan disinformasi digital menunjukkan bagaimana konflik siber dapat bersifat sistemik dan melampaui batas negara. Risiko efek tumpahan (spillover) dan potensi terbentuknya blok-blok siber global menandai babak baru dalam arsitektur geopolitik.

Bagi Indonesia, ini adalah peringatan akan pentingnya membangun ketahanan digital dan diplomasi siber yang lincah. Kita tak bisa hanya menjadi penonton dalam konstelasi digital global. Dibutuhkan kepemimpinan yang visioner, sistem digital yang kuat, dan kebijakan luar negeri yang netral-aktif namun strategis.

"Dalam dunia yang makin terhubung, garis depan peperangan bisa berada di layar ponsel kita sendiri. Menjaga kedaulatan digital kini sama pentingnya dengan menjaga kedaulatan wilayah." 

 

Referensi

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait