Risiko dan Potensi AI dalam Bisnis di ASEAN
- Rita Puspita Sari
- •
- 27 Mar 2024 14.57 WIB
Sebuah survei gabungan yang dilakukan oleh Kearney dan Egon Zehnder telah mengungkapkan berbagai risiko dan potensi pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dalam sektor bisnis di wilayah ASEAN. Meskipun AI dianggap sebagai pendorong evolusi bisnis dan model organisasi, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait penggantian tenaga kerja dan pelanggaran privasi data.
"Integrasi yang bertanggung jawab terhadap AI memerlukan pemahaman teknis yang mendalam dan mitigasi risiko yang efektif, kita tidak boleh mengabaikan potensi risiko yang terkait dengan penggunaan AI," kata President Director and Partner Kearney Indonesia Shirley Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Selasa dikutip dari Antara news.
Studi yang dilakukan oleh Kearney memproyeksikan bahwa teknologi kecerdasan buatan (AI) memiliki potensi besar untuk memberikan keuntungan ekonomi yang substansial di wilayah ASEAN. Pada tahun 2030, AI diprediksi akan menjadi penyumbang signifikan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) ASEAN, dengan perkiraan mencapai hingga 1 triliun dolar AS. Dalam proyeksi ini, Indonesia diestimasi akan memberikan kontribusi sekitar 40 persen dari total tersebut, yang setara dengan perkiraan kontribusi sebesar 366 miliar dolar AS.
Indonesia telah memusatkan perhatiannya pada pembangunan ekonomi digital dengan menekankan peran kunci AI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan kemajuan teknologi. Shirley menekankan pentingnya bagi organisasi untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang implikasi AI dan menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan perkembangan teknologi.
"Penting bagi organisasi untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang implikasi AI dan menyesuaikan strategi mereka secara sesuai," kata Shirley.
Laporan survei Kearney mengidentifikasi empat risiko kunci yang harus diprioritaskan oleh para pemimpin bisnis dalam memanfaatkan teknologi AI.
- Pertama, risiko bias data yang terkait dengan kualitas output model AI yang dapat menjadi bias jika data latihan tidak mencerminkan keberagaman dunia nyata secara seimbang.
- Kedua, risiko halusinasi data terkait dengan model AI generatif yang sangat akurat namun tetap memiliki tingkat keyakinan yang tinggi bahkan saat menghasilkan hasil yang salah. Hal ini menuntut keterlibatan manusia untuk memverifikasi hasil model secara terus-menerus.
- Risiko ketiga adalah biaya yang membengkak seiring dengan meningkatnya volume data yang disimpan oleh platform AI, yang meningkatkan biaya pengumpulan, penyimpanan, dan pemrosesan data tersebut.
- Risiko keempat adalah ketergantungan dan reliabilitas terhadap AI. Kekhawatiran muncul terkait ketergantungan pada AI dan keandalannya dalam mengambil keputusan yang kritis.
"Para pemimpin bisnis perlu menekankan pendekatan strategis dan bijaksana dalam mengintegrasikan AI, melakukan investasi tambahan sesuai kebutuhan, fokus pada faktor risiko yang kritis, dan mengambil langkah-langkah pragmatis untuk mencapai kesuksesan jangka panjang," ucap Principal Kearney, Rohit Sethi.
Para pemimpin bisnis dapat menavigasi adopsi AI dengan memprioritaskan faktor-faktor utama, antara lain, mendefinisikan dengan jelas business case untuk integrasi AI, memastikan kualitas dan keandalan data menjadi yang utama, menggabungkan langkah-langkah keamanan yang kuat untuk melindungi data sensitif, membuat pedoman dan kebijakan etika, menetapkan desain arsitektur yang bijaksana untuk integrasi yang lancar dan dapat diskalakan, dan mendorong adopsi AI yang berkelanjutan, termasuk perubahan budaya di dalam organisasi.
Pemanfaatan teknologi AI dalam sektor bisnis di ASEAN menawarkan peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi, namun juga menghadirkan sejumlah risiko yang harus ditangani dengan bijaksana. Para pemimpin bisnis perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang implikasi AI dan mengambil langkah-langkah strategis untuk memaksimalkan manfaat dan mengurangi risiko yang terkait dengan penggunaannya.