Transisi Superradiant: Langkah Besar Teknologi Kuantum
- Rita Puspita Sari
- •
- 10 jam yang lalu

Ilustrasi Quantum Computing
Dalam sebuah terobosan penting di bidang fisika kuantum, para peneliti telah berhasil mengamati fenomena langka yang disebut sebagai transisi fase superradiant (superradiant phase transition atau SRPT). Fase materi kuantum baru ini pertama kali diprediksi lebih dari 50 tahun yang lalu, dan diyakini berpotensi besar dalam mendorong kemajuan teknologi kuantum, termasuk komputer kuantum dan sensor presisi tinggi.
Temuan luar biasa ini dipublikasikan dalam jurnal Science Advances pada tanggal 4 April 2024, dan dilakukan oleh tim peneliti dari Rice University di Amerika Serikat.
Apa Itu Superradiant Phase Transition?
Superradiant phase transition (SRPT) adalah kondisi di mana dua kelompok partikel kuantum yang berbeda mulai berfluktuasi secara terkoordinasi dan serempak, menciptakan kondisi kuantum kolektif yang unik. Ini bukan sekadar perubahan suhu atau tekanan seperti pada air yang berubah menjadi es atau uap, tetapi perubahan menyeluruh dalam sifat kuantum material itu sendiri.
Fenomena ini merupakan bentuk baru dari fase materi yang muncul akibat interaksi kuat antara cahaya dan materi. SRPT pertama kali dijelaskan oleh fisikawan Robert H. Dicke pada tahun 1954 melalui model yang dikenal sebagai Model Dicke, yang menjelaskan superradiance yaitu kondisi di mana sekelompok atom memancarkan cahaya secara bersamaan dengan intensitas jauh lebih tinggi dibandingkan satu per satu.
Selanjutnya, pada tahun 1973, para ilmuwan Klaus Hepp dan Elliot H. Lieb mengembangkan model ini secara matematis dan membuktikan bahwa SRPT memang bisa terjadi secara teoritis. Namun, selama beberapa dekade, fenomena ini dianggap tidak mungkin terjadi di dunia nyata karena berbagai keterbatasan eksperimental, terutama dalam sistem berbasis cahaya.
Keberhasilan Eksperimen: Ion Besi dan Erbium dalam Kristal
Dalam studi terbaru ini, tim peneliti berhasil menciptakan kondisi ekstrem untuk memicu munculnya SRPT. Mereka menggunakan sebuah kristal yang terdiri dari ion erbium (Er), ion besi (Fe), dan oksigen, lalu mendinginkannya hingga suhu -271,67°C hanya sedikit di atas nol mutlak. Selain itu, mereka menerapkan medan magnet raksasa yang kekuatannya lebih dari 100.000 kali medan magnet Bumi.
Kondisi ini memungkinkan dua jenis ion tersebut — ion besi dan ion erbium — untuk berinteraksi dengan cara yang sangat unik. Ketika dipengaruhi oleh medan magnet super kuat, kedua jenis ion menunjukkan perilaku spin yang mulai berfluktuasi secara sinkron.
Menurut penulis utama studi ini, Dasom Kim, yang juga mahasiswa doktoral fisika terapan di Rice University, keberhasilan pengamatan SRPT ini melibatkan pendekatan baru yang menggabungkan dua subsistem magnetik berbeda: fluktuasi spin dari ion besi dan ion erbium. Dalam sistem kuantum, spin adalah properti fundamental yang menggambarkan momentum sudut dari partikel, dan sangat penting dalam menentukan bagaimana partikel merespons medan magnet.
Spin ini, ketika terganggu, dapat menghasilkan magnon yaitu gelombang kolektif dari gangguan spin dalam kristal. Tim peneliti memanfaatkan pendekatan magnonik, yakni menggunakan magnon sebagai pengganti fluktuasi vakum kuantum, dan berhasil menggantikan batasan-batasan lama yang menghambat pengamatan SRPT.
Bukti Eksperimen yang Kuat
Selama eksperimen, para peneliti mengamati hilangnya energi dari salah satu mode spin, serta pergeseran energi pada mode spin lainnya. Perubahan ini merupakan indikasi kuat bahwa transisi fase superradiant benar-benar terjadi dalam sistem tersebut.
“Kami menciptakan hubungan yang sangat kuat antara dua sistem spin yang berbeda dan berhasil mengamati transisi fase superradiant. Ini adalah pencapaian yang sebelumnya dianggap mustahil,” ujar Kim.
Pengamatan ini tidak hanya mengonfirmasi prediksi teori yang telah ada selama lebih dari setengah abad, tetapi juga membuka jalan baru dalam eksplorasi fase-fase kuantum lainnya yang mungkin tersembunyi di balik batasan eksperimental masa lalu.
Dampak Besar untuk Teknologi Kuantum
Keberhasilan dalam mengamati SRPT bukan hanya sebuah pencapaian teoretis, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang sangat besar, terutama dalam bidang komputasi kuantum dan sensor kuantum.
Salah satu potensi terbesar dari SRPT adalah dalam menghasilkan fenomena yang disebut quantum squeezing. Quantum squeezing adalah kondisi di mana fluktuasi atau gangguan pada salah satu properti sistem kuantum dapat ditekan di bawah batas normal (Heisenberg uncertainty), meskipun fluktuasi pada properti lainnya meningkat.
Menurut Kim, “Di dekat titik kritis dari transisi fase superradiant ini, sistem secara alami menghasilkan keadaan quantum-squeezed. Ini membuat pengukuran menjadi sangat presisi karena gangguan kuantum bisa ditekan drastis.”
Teknologi ini bisa merevolusi berbagai alat ukur presisi tinggi, seperti interferometer kuantum, jam atom, hingga sensor gravitasi. Dalam komputasi kuantum, kondisi quantum squeezing ini memungkinkan pembacaan qubit dengan lebih akurat dan stabil.
Menjawab Tantangan Komputasi Kuantum: Qubit Lebih Stabil
Masalah utama dalam pengembangan komputer kuantum adalah ketidakstabilan qubit, unit dasar informasi kuantum. Qubit sangat rentan terhadap gangguan dari lingkungan, yang menyebabkan terjadinya dekoherensi dan kesalahan dalam perhitungan.
Namun, dengan adanya transisi SRPT, di mana partikel kuantum berperilaku secara kolektif dan sinkron, sistem menjadi lebih tahan terhadap gangguan eksternal dan kesalahan individual. Artinya, qubit yang terbentuk melalui mekanisme ini bisa memiliki ketahanan yang jauh lebih tinggi, sehingga meningkatkan keandalan komputasi kuantum secara keseluruhan.
Selain itu, interaksi kuat yang terkoordinasi dalam SRPT juga memungkinkan terciptanya gerbang kuantum yang lebih cepat dan efisien. Gerbang kuantum adalah komponen penting dalam algoritma komputer kuantum, dan percepatan proses ini bisa memberikan lonjakan performa yang signifikan.
Masa Depan Fisika Kuantum dan Inovasi Teknologi
Penemuan ini menandai langkah penting dalam pemahaman kita terhadap sifat alam semesta di tingkat paling dasar. Ia membuka jendela menuju berbagai aplikasi teknologi masa depan, termasuk pengembangan komputer kuantum generasi berikutnya, sensor kuantum presisi tinggi, dan komunikasi kuantum yang aman.
Keberhasilan ini juga menunjukkan bahwa masih banyak fenomena alam yang belum terungkap karena keterbatasan teknologi dan metode pendekatan. Dengan memanfaatkan pendekatan kreatif seperti magnonik dan manipulasi medan magnet ekstrim, para ilmuwan bisa membuka pintu menuju fase-fase materi baru yang selama ini hanya ada dalam teori.
Penemuan fase superradiant ini adalah bukti nyata bahwa teori fisika yang telah lama diprediksi bisa menjadi kenyataan dengan pendekatan ilmiah yang inovatif. Dengan implikasi yang luas terhadap dunia komputasi dan teknologi kuantum, hasil penelitian ini tak hanya mengukir prestasi dalam dunia akademis, tetapi juga memberi harapan baru bagi masa depan teknologi modern.
Dari laboratorium fisika hingga dunia nyata, transisi fase superradiant bisa menjadi salah satu kunci utama dalam membentuk era baru komputasi dan pemrosesan informasi, era kuantum yang semakin nyata.