Tren Vibe-Coding Meledak, Pakar Ingatkan Risiko Serius


Ilustrasi Vibe Coding 2

Ilustrasi Vibe Coding

Fenomena vibe-coding tengah menjadi sorotan besar di industri teknologi. Metode pemrograman AI yang dipopulerkan oleh Andrej Karpathy, Co-founder OpenAI kini mulai mengubah cara orang membangun software. Google bahkan mengungkap bahwa 30% kode baru mereka kini berasal dari AI. Angka ini menunjukkan bahwa perubahan besar sedang berlangsung dalam proses pembuatan perangkat lunak di berbagai perusahaan global.

Namun, di balik kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan, muncul kekhawatiran mendalam terkait kualitas, keamanan, dan tata kelola kode yang dihasilkan AI. Dunia software kini berada di titik persimpangan: apakah vibe-coding akan menjadi masa depan pengembangan aplikasi, atau justru membawa risiko baru yang belum siap dihadapi bisnis?

 
Apa Itu Vibe-Coding dan Mengapa Mendadak Populer?

Vibe-coding adalah istilah yang diperkenalkan oleh Andrej Karpathy pada Februari 2025. Konsepnya sederhana: pengguna hanya perlu menjelaskan apa yang mereka inginkan dalam bahasa sehari-hari, dan AI akan menuliskan kode untuk mewujudkannya. Tidak perlu menghafal sintaks, tidak perlu memahami struktur data kompleks, dan tidak perlu mengerjakan debugging rumit dari nol.

Karpathy menggambarkannya dengan cukup santai dalam unggahannya di X:
“Ini gaya coding baru di mana kamu mengikuti alurnya saja, menerima percepatan eksponensial, dan melupakan bahwa kode itu sebenarnya ada.”

Berkat kemunculan berbagai alat seperti Replit, Cursor, Google AI Studio, hingga GitHub Copilot, siapa pun kini bisa membuat aplikasi tanpa menjadi ahli pemrograman. Inilah yang membuat vibe-coding dianggap sebagai bentuk “demokratisasi” pengembangan software—membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk menciptakan teknologi.

Tak heran jika Collins Dictionary menjadikan vibe-coding sebagai Word of the Year 2025. Artinya, tren ini bukan sekadar eksperimen teknis, tetapi fenomena budaya yang menggeser paradigma lama.

 
Google: 30% Kode Baru dari AI—Apa Dampaknya?

Kesuksesan vibe-coding dibuktikan oleh tingkat adopsinya yang sangat cepat. CEO Google, Sundar Pichai, mengungkapkan bahwa lebih dari 30% kode baru yang ditulis di perusahaan kini dihasilkan oleh AI. Untuk perusahaan sebesar Google yang mengelola miliaran pengguna, angka itu bukan main-main.

Penelitian dari Fastly juga memperkuat tren ini. Mereka menemukan:

  • Lebih dari setengah kode yang dirilis oleh sepertiga pengembang senior dibuat menggunakan AI.
  • Namun, pengembang junior justru lebih sedikit memanfaatkan AI—hanya 13% dari mereka merilis kode yang separuhnya berasal dari AI.

Mengapa bisa begitu?
Jawabannya kembali ke pengalaman. Senior lebih diuntungkan, junior justru kewalahan

Pengembang berpengalaman memiliki kemampuan untuk:

  • mengenali kesalahan dengan cepat,
  • memahami konteks logika program,
  • dan memperbaiki output AI tanpa kesulitan berarti.

Bagi mereka, AI menjadi akselerator produktivitas.

Sebaliknya, pengembang junior biasanya belum memiliki pola pikir dan intuisi teknis yang cukup untuk menyadari apakah AI menghasilkan kode yang keliru. Ketika kesalahan muncul, mereka kesulitan melacak sumber masalah dan memperbaiki bug. Akibatnya, waktu pengerjaan justru bisa bertambah panjang.

Karpathy pun mengakui bahwa model bahasa besar sudah “sangat bagus”, tetapi tetap memiliki keterbatasan. Dalam beberapa kasus, AI tidak dapat memperbaiki bug yang dibuatnya sendiri. Dalam situasi seperti itu, Karpathy memilih mengakali sistem dengan meminta perubahan acak hingga masalahnya hilang.

Menurutnya, untuk proyek kecil akhir pekan, pendekatan seperti itu masih wajar. Tapi bagaimana jika diterapkan di perusahaan besar?

 
Risiko Besar Jika Perusahaan Mengadopsi Vibe-Coding Tanpa Strategi Matang

Tidak semua pihak optimistis dengan perkembangan vibe-coding. Raymond Kok, CEO Mendix, memberikan peringatan keras tentang bahaya mengandalkan AI untuk pembuatan perangkat lunak perusahaan tanpa perencanaan yang solid.

Menurutnya, meski vibe-coding memudahkan pembuatan rapid prototyping, hasil kode yang dibuat AI sering kali tidak memiliki struktur arsitektur yang kokoh. Masalah ini menjadi serius ketika aplikasi harus:

  • terintegrasi dengan sistem perusahaan yang sudah ada,
  • menangani data dalam jumlah besar,
  • atau memenuhi standar keamanan yang ketat.

Bug bukan satu-satunya masalah, Kok menekankan bahwa perusahaan tidak boleh sekadar mengejar tren tanpa memikirkan dampaknya terhadap keseluruhan strategi IT.

Ia menjelaskan bahwa adopsi vibe-coding harus dibangun di atas fondasi tata kelola yang kuat, termasuk:

  • pengelolaan data yang baik,
  • proses SDLC yang diperbarui agar melibatkan data engineer dan pengguna akhir,
  • dan investasi pada talenta yang siap berkembang mengikuti teknologi.

Lebih jauh, isu teknis yang paling mengkhawatirkan bukanlah bug, tetapi persyaratan non-functional requirements (NFR).

Sistem perusahaan umumnya harus memenuhi standar seperti:

  • keamanan data,
  • performa tinggi,
  • keandalan aplikasi,
  • dan kepatuhan terhadap regulasi.

AI biasanya hanya fokus pada apa yang diminta pengguna fungsi dasar tanpa mempertimbangkan kebutuhan NFR yang sangat penting tersebut. Inilah jurang besar antara vibe-coding dan software engineering profesional.

Kok menutup dengan tegas bahwa vibe-coding masih jauh dari siap untuk menjadi fondasi utama pengembangan software di perusahaan besar. Tanpa pemahaman mendalam tentang tata kelola dan kontrol, metode ini hanya memberikan keuntungan jangka pendek dengan risiko jangka panjang.

 
Masa Depan yang Menarik, Tapi Perlu Pijakan yang Kuat

Vibe-coding jelas membuka babak baru dalam dunia pengembangan software. Di satu sisi, ia menawarkan kecepatan, kreativitas, dan aksesibilitas yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, muncul risiko baru yang perlu dipahami dan dikelola, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada keamanan dan keandalan sistem digital.

Teknologi AI memang berkembang pesat, tetapi fondasi software engineering dan tata kelola tetap tidak bisa ditinggalkan. Dengan strategi yang tepat, vibe-coding dapat menjadi alat yang sangat powerful. Namun tanpa kehati-hatian, ia bisa menjadi jebakan teknologi yang mahal.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait