Viral Tapi Bahaya, Ini Dampak Oversharing Anak di Medsos


Ilustrasi Oversharing

Ilustrasi Oversharing

Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi ruang berbagi yang tak terbatas. Banyak orang tua gemar mengunggah momen lucu atau mengharukan dari kehidupan anaknya, mulai dari video anak tertawa, menangis, hingga aksi polos yang dianggap menghibur. Namun di balik layar, kebiasaan yang tampak sepele ini menyimpan dampak besar terhadap psikologis dan perkembangan mental anak. Fenomena ini dikenal sebagai oversharing.

 

Apa Itu Oversharing dan Mengapa Terjadi?

Oversharing biasanya dilakukan tanpa niat buruk. Orang tua ingin membagikan kebahagiaan, memperlihatkan perkembangan anak, atau sekadar mencari validasi sosial lewat pujian dan komentar positif. Ada juga yang termotivasi karena konten anak sering kali berpotensi viral dan menarik banyak perhatian. Namun, saat unggahan itu diakses ribuan orang, kendali atas privasi anak pun hilang.

Anak-anak, apalagi yang masih kecil, belum mampu memahami konsekuensi dari jejak digital. Foto atau video mereka yang lucu bagi orang dewasa bisa menjadi sumber rasa malu, bahkan trauma, ketika mereka tumbuh besar dan melihatnya kembali.

  1. Anak Bisa Merasa Dipermalukan
    Tidak semua momen lucu atau unik layak untuk dibagikan ke publik. Misalnya, video anak sedang menangis atau marah karena hal kecil mungkin mengundang tawa di dunia maya, tapi bagi anak, itu adalah momen rentan yang seharusnya hanya diketahui oleh keluarga. Ketika mereka menyadari bahwa jutaan orang telah melihat momen itu, perasaan malu, rendah diri, dan kehilangan kepercayaan diri bisa muncul.

    Anak mungkin merasa bahwa orang tuanya tidak menghargai privasi mereka. Akibatnya, hubungan emosional antara anak dan orang tua bisa terganggu karena anak kehilangan rasa aman dan kepercayaan terhadap orang tuanya sendiri.

  2. Ketergantungan terhadap Media Sosial
    Anak yang tumbuh dengan paparan media sosial sejak kecil cenderung mengaitkan nilai diri dengan reaksi publik. Ketika unggahan tentang dirinya mendapat banyak “likes” dan komentar positif, ia bisa menganggap bahwa penerimaan sosial berasal dari media sosial, bukan dari dirinya sendiri.

    Kondisi ini berpotensi menumbuhkan perilaku addictive atau ketergantungan digital. Anak akan terus mencari validasi dari dunia maya dan sulit menerima penolakan di kehidupan nyata. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan gangguan harga diri, kecemasan sosial, bahkan depresi.

  3. Membenarkan Perilaku di Media Sosial
    Dunia digital adalah tempat yang bebas, tapi tidak selalu sehat. Ketika anak melihat bahwa perilaku tertentu di media sosial mendapat banyak perhatian mereka bisa menirunya tanpa menyadari konsekuensinya.

    Lebih parah lagi, jika unggahan tentang dirinya menjadi sasaran komentar negatif atau cyberbullying, anak mungkin merasa tertekan atau bahkan mulai percaya bahwa dirinya memang pantas menerima perlakuan itu. Hal ini bisa mengganggu perkembangan mental dan emosional mereka secara serius.

  4. Dorongan untuk Tampil Sempurna
    Fenomena oversharing juga menumbuhkan budaya pencitraan. Anak yang terbiasa “dijadikan konten” akan berusaha tampil sempurna agar tidak mempermalukan dirinya atau keluarganya di depan publik. Mereka mulai memikirkan cara berpakaian, berbicara, dan bersikap agar selalu terlihat “baik” di kamera.

    Sayangnya, tekanan untuk tampil sempurna ini bisa menimbulkan stres psikologis. Anak merasa harus selalu bahagia, lucu, atau menarik, padahal mereka juga berhak untuk sedih, marah, atau melakukan kesalahan. Ketidakseimbangan ini bisa membuat anak kehilangan jati diri dan sulit menerima kelemahan diri sendiri.

  5. Kehidupan Digital yang Menutupi Realita
    Media sosial sering kali menampilkan versi terbaik dari kehidupan seseorang. Namun ketika anak terbiasa dengan citra “sempurna” yang dibangun di dunia maya, mereka bisa kehilangan kontak dengan realita.

    Anak mungkin mulai menganggap bahwa kebahagiaan sejati adalah yang terlihat di layar, bukan yang dirasakan di dunia nyata. Mereka akan lebih fokus pada pencitraan daripada pengalaman hidup yang sesungguhnya—bermain, belajar, atau berinteraksi langsung dengan orang lain. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat kemampuan sosial dan emosional anak dalam menghadapi kehidupan nyata.

 

Menghargai Privasi Anak di Era Digital

Melindungi anak di dunia digital bukan berarti sama sekali melarang orang tua membagikan momen anak di media sosial. Kuncinya adalah keseimbangan dan kesadaran. Beberapa langkah sederhana dapat membantu menjaga privasi dan kesehatan mental anak:

  • Pikirkan sebelum mengunggah. Tanyakan pada diri sendiri: apakah anak akan merasa nyaman jika video atau fotonya dilihat banyak orang?
  • Hindari konten yang mempermalukan. Jangan bagikan momen anak saat sedang sedih, marah, atau melakukan kesalahan.
  • Gunakan pengaturan privasi. Batasi siapa yang bisa melihat unggahan tentang anak. Pastikan akun tidak terbuka untuk publik.
  • Beri anak kesempatan memilih. Jika anak sudah cukup besar, mintalah izin sebelum mengunggah foto atau videonya.
  • Jadilah panutan digital. Tunjukkan bahwa media sosial hanyalah alat, bukan ukuran nilai diri seseorang.

 

Menumbuhkan Anak yang Sehat Secara Digital

Mendidik anak di era digital memerlukan pemahaman baru tentang batas privasi dan etika berbagi. Orang tua perlu menyadari bahwa setiap unggahan meninggalkan jejak digital yang bisa bertahan selamanya.

Lebih penting dari sekadar konten viral adalah tumbuhnya anak yang sehat, percaya diri, dan memiliki hubungan emosional yang hangat dengan keluarganya. Dunia maya bisa menjadi tempat yang menyenangkan jika digunakan dengan bijak, tapi bisa juga menjadi ruang yang berbahaya bila tidak disikapi dengan hati-hati.

Pada akhirnya, membesarkan anak bukan tentang seberapa banyak momen mereka dilihat publik, melainkan seberapa banyak kasih sayang, perhatian, dan rasa aman yang mereka rasakan di dunia nyata.

Mari gunakan media sosial dengan bijak, bukan untuk memamerkan anak, melainkan untuk melindungi mereka, karena di balik senyum kecil yang tampak di layar, ada hati dan pikiran yang sedang tumbuh dan perlu dijaga dengan penuh kasih.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait