Masa Depan Drone: Komunikasi Aman Berbasis Kuantum


Ilustrasi Drone

Ilustrasi Drone

Ketergantungan pada jaringan internet dan sinyal nirkabel selama ini menjadi tantangan besar dalam komunikasi digital, terutama saat terjadi bencana alam. Setiap pengiriman pesan, email, atau data selalu melewati internet terbuka yang rentan disadap dan sangat bergantung pada kestabilan jaringan. Dalam situasi darurat seperti kebakaran hutan, gempa bumi, atau banjir besar, jaringan komunikasi kerap lumpuh sehingga menghambat proses evakuasi dan koordinasi bantuan.

Namun, sebuah penelitian terbaru membuka kemungkinan baru. Dengan memanfaatkan keterikatan kuantum atau quantum entanglement, para peneliti meyakini drone di masa depan dapat saling terhubung dan berkomunikasi tanpa bergantung pada jaringan konvensional seperti internet atau sinyal nirkabel.

Gagasan ini dikembangkan oleh Alexander DeRieux, mahasiswa doktoral Virginia Tech sekaligus Bradley Fellow di Departemen Teknik Elektro dan Komputer Bradley, bersama pembimbingnya, Profesor Walid Saad. Mereka mengeksplorasi cara baru mentransmisikan informasi menggunakan sifat unik bit kuantum atau qubit, yang berbeda secara mendasar dari bit pada komputasi klasik.

“Pada level subatomik, atom tidak pernah benar-benar terisolasi. Mereka selalu bergetar dan memengaruhi atom di sekitarnya,” ujar DeRieux. Menurutnya, keterikatan kuantum memanfaatkan keterhubungan alami antar partikel di alam semesta, sehingga perubahan pada satu partikel dapat langsung memengaruhi partikel lainnya.

Penelitian ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan kebutuhan di lapangan, khususnya dalam skenario tanggap bencana. Tim DeRieux yang berbasis di Institute for Advanced Computing, Alexandria, meneliti bagaimana drone dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran hutan atau membantu operasi penyelamatan di wilayah yang tidak memiliki sinyal komunikasi memadai.

Dari riset tersebut, mereka mengembangkan kerangka kerja bernama entangled quantum multi-agent reinforcement learning (eQMARL). Kerangka ini menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan pendekatan komputasi klasik maupun sistem kuantum yang tidak memanfaatkan entanglement. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di server pracetak ilmiah arXiv.

DeRieux menjelaskan bahwa sistem yang mereka bangun adalah skema pembelajaran yang memanfaatkan hubungan antar qubit. Ketika satu qubit mengalami perubahan, qubit pasangannya juga ikut berubah. “Kami tidak terlalu fokus pada bentuk perubahan tersebut, yang terpenting adalah adanya perubahan yang bisa dimanfaatkan sebagai informasi,” jelasnya.

Penelitian ini sempat dipamerkan pada pembukaan Academic Building One di Alexandria pada Februari lalu. Meski begitu, DeRieux mengakui bahwa penerapan teknologi ini secara nyata untuk drone tanggap bencana masih memerlukan waktu cukup panjang, diperkirakan sekitar 10 hingga 15 tahun. Kendati demikian, perkembangan pesat dalam riset matematika dan pengujian lapangan membuat potensi teknologi kuantum semakin terlihat nyata.

Profesor Walid Saad menambahkan bahwa meskipun teknologi kuantum sering disebut sebagai terobosan besar, dampaknya terhadap kecerdasan buatan dan sistem komunikasi masih terus dieksplorasi. Melalui penelitian ini, timnya mencoba memadukan teknologi kuantum dan klasik agar dapat bekerja bersama sebagai satu sistem yang saling melengkapi.

Selain untuk drone, keterikatan kuantum juga berpotensi diterapkan pada komunikasi aman. Misalnya, dalam pertukaran data sensitif seperti rekam medis di rumah sakit. Dengan tidak mengirimkan data secara eksplisit melalui internet, risiko kebocoran dan serangan siber dapat ditekan secara signifikan.

Dalam praktiknya, cara kerja keterikatan kuantum cukup berbeda dari komunikasi konvensional. Informasi dari lingkungan drone, seperti audio atau video, dikodekan ke dalam qubit. Karena qubit mampu menyimpan lebih banyak informasi melalui amplitudo dan fase, perubahan kecil pada keadaannya sudah cukup untuk merepresentasikan data yang kompleks.

Sebagai ilustrasi, foton dapat dianalogikan sebagai bola kecil yang berputar. Ketika dua foton dibuat saling terikat, perubahan pada putaran salah satunya akan langsung tercermin pada pasangannya, meskipun berada pada jarak yang sangat jauh. Fenomena ini bahkan telah diuji dalam eksperimen di Stasiun Luar Angkasa Internasional.

Ke depan, seiring ukuran komputer kuantum yang semakin kecil dan efisien, peluang pemanfaatannya kian luas. Mulai dari keamanan data, pembelajaran terdistribusi, efisiensi AI, hingga sistem komunikasi masa depan yang lebih tangguh. DeRieux menegaskan bahwa riset ini menjadi bukti bahwa keterikatan kuantum menawarkan keunggulan yang benar-benar unik dan tidak dapat dicapai oleh teknologi klasik saat ini.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait