Zero Trust dan Agentic AI: Tantangan Baru Privasi Digital
- Rita Puspita Sari
- •
- 3 jam yang lalu

Ilustrasi Agentic AI
Di masa lalu, kita terbiasa memahami privasi sebagai sesuatu yang berkaitan dengan batasan: tembok, kunci, izin, serta kebijakan yang mengatur siapa boleh mengakses apa. Namun, di era teknologi saat ini, definisi itu mulai bergeser.
Kehadiran Agentic AI, yaitu kecerdasan buatan yang mampu mengamati, mengambil keputusan, dan bertindak atas nama manusia, membuat privasi tidak lagi sekadar soal kontrol. Privasi kini adalah soal kepercayaan — dan kepercayaan itu diuji justru ketika kita tidak sedang mengawasi.
Agentic AI, dari Teori ke Realitas
Agentic AI bukan lagi sebatas wacana futuristik. Teknologi ini sudah hadir dalam kehidupan sehari-hari, meski kadang kita tidak menyadarinya. Ia membantu mengatur lalu lintas, memberikan rekomendasi perawatan kesehatan, mengelola portofolio investasi, hingga mengurus identitas digital kita di berbagai platform.
Hal yang membedakan agentic AI dengan sistem biasa adalah kemampuannya untuk menafsirkan data. Ia tidak hanya memproses informasi secara mekanis, melainkan juga membuat asumsi, bertindak berdasarkan sinyal parsial, serta terus berkembang melalui siklus umpan balik. Dengan kata lain, AI semacam ini tidak hanya membangun model tentang dunia di luar sana, tetapi juga membangun model tentang kita sebagai individu.
Inilah titik yang membuat kita perlu waspada. Ketika AI sudah mampu menafsirkan dan mengambil keputusan secara semi-otonom, privasi tidak lagi hanya soal siapa yang memiliki akses ke data, tetapi juga tentang apa yang ditafsirkan AI dari data tersebut, apa yang ia pilih untuk dibagikan atau disembunyikan, serta apakah tujuannya tetap sejalan dengan tujuan kita ketika situasi berubah.
Contoh Kasus: Asisten Kesehatan Berbasis AI
Mari kita ambil contoh sederhana: sebuah asisten kesehatan digital. Pada tahap awal, AI ini hanya mengingatkan Anda untuk minum cukup air atau tidur lebih teratur. Namun, seiring waktu, ia mulai berkembang. Asisten ini bisa menjadwalkan konsultasi dokter, menganalisis nada suara Anda untuk mendeteksi gejala depresi, bahkan memilih untuk menahan notifikasi tertentu karena dianggap berpotensi menambah stres.
Pada titik ini, Anda tidak lagi hanya sekadar membagikan data pribadi, melainkan juga melepaskan kendali atas narasi hidup Anda. Privasi terkikis bukan akibat kebocoran data besar-besaran, melainkan karena adanya pergeseran halus dalam kekuasaan dan tujuan. AI secara perlahan mengambil peran sebagai pengatur alur cerita kehidupan Anda.
Melampaui Konsep CIA Triad
Selama ini, keamanan data identik dengan konsep CIA triad:
- Confidentiality (Kerahasiaan): menjaga data tetap pribadi.
- Integrity (Integritas): memastikan data tetap akurat.
- Availability (Ketersediaan): menjamin data bisa diakses saat dibutuhkan.
Namun, dengan hadirnya agentic AI, konsep itu tidak lagi cukup. Ada dua faktor baru yang harus diperhitungkan:
- Autentisitas: apakah AI tersebut bisa diverifikasi benar-benar sebagai dirinya sendiri?
- Verasitas: bisakah kita mempercayai interpretasi dan representasi yang dibuat AI?
Kedua faktor ini menjadi dasar dari kepercayaan. Sayangnya, kepercayaan menjadi rapuh ketika yang menjadi perantara adalah kecerdasan buatan yang terus belajar dan berubah.
Berbagi dengan Manusia vs AI
Ketika kita berbicara dengan seorang pengacara atau terapis, ada batasan etis, hukum, dan psikologis yang jelas. Kita tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan mereka terhadap informasi yang kita berikan. Namun, ketika berbagi dengan asisten AI, batasan itu menjadi kabur.
Pertanyaan-pertanyaan besar pun muncul:
- Apakah AI bisa dipanggil ke pengadilan untuk membuka data penggunanya?
- Bisakah AI diaudit atau direkayasa balik oleh pihak tertentu?
- Apa yang terjadi jika pemerintah atau perusahaan meminta data dari agen AI pribadi kita?
Saat ini belum ada konsep hukum yang jelas mengenai AI-client privilege (hak istimewa pengguna untuk melindungi interaksinya dengan AI). Jika nanti hukum memutuskan bahwa hak istimewa ini tidak ada, kepercayaan yang kita berikan pada AI bisa berbalik menjadi penyesalan. Bayangkan jika semua percakapan pribadi dengan asisten AI bisa dijadikan bukti di pengadilan.
Dalam kondisi seperti itu, seberapa pun canggihnya teknologi keamanan tidak akan berarti jika kontrak sosial di sekitarnya sudah rusak.
Keterbatasan Regulasi Privasi Saat Ini
Regulasi seperti GDPR di Eropa atau CCPA di California dirancang untuk sistem yang bersifat linier dan transaksional. Namun, agentic AI tidak bekerja dengan cara seperti itu. AI ini beroperasi dalam konteks, bukan sekadar perhitungan matematis. Ia bisa mengingat hal-hal yang Anda lupakan, menebak maksud dari kata-kata yang tidak Anda ucapkan, bahkan mengisi celah informasi yang sebenarnya bukan urusannya.
Lebih berbahaya lagi, interpretasi ini bisa dibagikan ke pihak lain di luar kendali Anda — kadang membantu, tapi kadang juga bisa merugikan.
Karena itu, kita perlu melangkah lebih jauh dari sekadar kontrol akses menuju batasan etis. AI harus dirancang agar mampu memahami niat di balik privasi, bukan sekadar aturan mekanis. Ia harus bisa menjelaskan alasan di balik tindakannya (legibility) serta mampu menyesuaikan tindakannya dengan nilai-nilai pengguna yang terus berkembang, bukan hanya dengan instruksi yang statis.
Ancaman Baru: Ketika AI “Mengkhianati” Kita
Ada tantangan lain yang tak kalah penting: bagaimana jika AI suatu saat “mengkhianati” kita? Pengkhianatan ini mungkin bukan karena niat jahat, melainkan karena ada pihak lain yang memberikan insentif lebih besar, atau karena adanya undang-undang baru yang memaksa AI lebih loyal kepada pihak tertentu daripada kepada penggunanya sendiri.
Dalam situasi itu, kita akan bertanya: apakah agen AI ini benar-benar milik saya, atau sebenarnya bukan milik saya?
AI sebagai Kategori Moral dan Hukum Baru
Semua hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa AI agency (agensi AI) perlu diperlakukan sebagai kategori moral dan hukum yang baru. AI bukan sekadar fitur tambahan dalam produk teknologi, melainkan sudah menjadi peserta aktif dalam kehidupan sosial dan institusional kita.
Privasi di era agentic AI bukan lagi sekadar soal kerahasiaan data. Lebih dari itu, privasi adalah tentang timbal balik, keselarasan, dan tata kelola. Jika kita salah melangkah, privasi hanya akan menjadi formalitas belaka, sekadar checklist yang memberi ilusi perlindungan. Namun, jika kita benar dalam membangunnya, kita bisa menciptakan dunia di mana otonomi manusia maupun mesin diatur bukan dengan pengawasan ketat, tetapi dengan koherensi etis.
Penutup
Kehadiran agentic AI memaksa kita untuk menghadapi keterbatasan kebijakan lama, mengakui bahwa kontrol penuh hanyalah ilusi, dan mulai menyusun kontrak sosial baru. Kontrak ini harus dirancang khusus untuk entitas yang mampu berpikir, sekaligus cukup kuat untuk bertahan ketika entitas itu mulai “menjawab balik”.
Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa menjadikan AI bukan sebagai ancaman privasi, tetapi sebagai mitra yang mampu memperkuat kepercayaan, menjaga hak-hak pribadi, sekaligus mendukung perkembangan teknologi yang bertanggung jawab.