Kedaulatan Digital dalam Pusaran Arus Data Lintas Batas
- Yudianto Singgih
- •
- 07 Agt 2025 17.28 WIB

Ilustrasi Regulasi Perlindungan Data
Di era digital, data telah menjelma menjadi komoditas strategis yang menentukan arah pertumbuhan ekonomi, kekuatan geopolitik, dan ketahanan nasional. Seiring meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi digital, cross-border data flows menjadi infrastruktur vital yang menopang berbagai layanan, mulai dari komputasi awan hingga kecerdasan buatan. Namun, keterbukaan ini membawa tantangan besar bagi negara berkembang seperti Indonesia—terutama dalam menjaga kendali atas data pribadi warganya di tengah dominasi platform global dan tekanan liberalisasi ekonomi digital.
Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) Indonesia merupakan langkah penting dalam membangun rezim hukum yang melindungi privasi secara komprehensif. Namun, implementasi prinsip-prinsip seperti ekstrateritorialitas dan kesetaraan pelindungan menghadapi kendala ketika dihadapkan dengan sistem hukum negara mitra seperti Amerika Serikat. AS belum memiliki regulasi federal terpadu dalam hal pelindungan data pribadi, dan memberi ruang luas bagi pengawasan intelijen atas data warga asing melalui aturan seperti FISA Section 702. Hal ini menciptakan ketimpangan hukum yang mengancam prinsip kedaulatan digital Indonesia.
Ketidakseimbangan ini tidak hanya berdampak pada aspek legal, tetapi juga memperlemah ekosistem teknologi lokal. Tanpa kebijakan data localization yang memadai, perusahaan asing tidak memiliki insentif untuk membangun infrastruktur di Indonesia, sehingga menghambat pertumbuhan industri cloud nasional dan meningkatkan ketergantungan terhadap infrastruktur digital luar negeri. Hal ini juga memperbesar risiko intervensi asing dalam pengambilan kebijakan strategis, serta membuka celah pengawasan data tanpa pelindungan hukum yang memadai bagi warga Indonesia.
Sebagai pembanding, Uni Eropa melalui GDPR telah membuktikan bahwa pelindungan data pribadi dapat dijadikan landasan utama dalam relasi internasional, bahkan ketika menghadapi tekanan dari mitra dagang besar seperti Amerika Serikat. Dengan mekanisme evaluasi kesetaraan pelindungan data, pengadilan independen, dan prinsip keadilan yang tegas, UE berhasil mempertahankan kedaulatan digitalnya tanpa mengorbankan partisipasi dalam ekonomi global. Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini untuk merancang strategi yang proaktif dan berbasis standar internasional.
Ke depan, Indonesia perlu memperkuat kapasitas Otoritas PDP, menerapkan standar keamanan informasi internasional seperti ISO/IEC 27701 dan 27018, serta aktif terlibat dalam forum global seperti OECD dan WEF yang mendorong prinsip Data Free Flow with Trust. Kedaulatan digital bukanlah bentuk penutupan diri, melainkan komitmen untuk menjaga kendali atas sumber daya digital nasional, memastikan keadilan dalam perdagangan data, dan melindungi hak digital setiap warga negara. Dalam menghadapi cross-border data flows, Indonesia harus hadir sebagai pemegang kendali, bukan sekadar penerima kebijakan luar.
Pendahuluan: Data sebagai Sumber Daya Strategis
“Data is the new oil”—ungkapan ini bukan lagi metafora klise, melainkan cerminan nyata dari bagaimana data telah menjadi bahan bakar utama ekonomi abad ke-21 [18]. Sebagaimana minyak mentah yang dahulu menentukan kekuatan geopolitik dan pertumbuhan ekonomi negara, data kini memainkan peran serupa dalam lanskap digital global. Perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Meta, dan Amazon membangun kekuasaannya bukan dari komoditas fisik, melainkan dari akumulasi dan analisis miliaran data pengguna [7][8]. Negara-negara pun mulai menyadari bahwa data adalah sumber daya strategis, yang tidak hanya menyangkut nilai ekonomi, tetapi juga kedaulatan, keamanan nasional, dan hak asasi manusia [4][5][6].
Di era yang semakin saling terhubung ini, arus data lintas batas (cross-border data flows) menjadi infrastruktur tak kasatmata yang menopang layanan digital: mulai dari cloud computing, e-commerce, sistem keuangan digital, hingga kecerdasan buatan [13][14]. Kelancaran dan kecepatan transfer data antarbenua adalah syarat mutlak bagi efisiensi ekonomi digital global [18][19].
Namun di balik segala peluang itu, tersimpan tantangan besar bagi negara seperti Indonesia: bagaimana memastikan bahwa keterlibatan dalam arsitektur data global tidak mengorbankan kendali atas data warga sendiri? [2][10][11] Ketika perjanjian perdagangan mendorong liberalisasi aliran data demi integrasi ekonomi, Indonesia dihadapkan pada benturan antara kepentingan ekonomi dan mandat konstitusional untuk melindungi data pribadi [2][15][17].
Inilah dilema zaman digital: apakah mungkin membangun ekonomi digital yang terbuka, inovatif, dan kompetitif tanpa harus mengorbankan kedaulatan digital?
Kedaulatan Data dan Tantangan Cross-Border Data Flows
Setelah memahami peran strategis data dalam ekonomi digital dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kendali atas data warganya, kini saatnya membahas secara lebih mendalam aspek kedaulatan data. Fokus utama di sini adalah putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) serta persoalan transfer data lintas batas (cross-border data transfer) yang menjadi tantangan krusial dalam implementasi kebijakan data di era globalisasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 53 ayat (1) UU PDP merupakan tonggak penting dalam memperkuat peran Pejabat Pengendali Data Pribadi (DPO) di Indonesia. Dengan mengubah makna kata “dan” menjadi “dan/atau”, putusan ini menegaskan bahwa kewajiban penunjukan DPO berlaku secara alternatif, bukan kumulatif. Artinya, setiap entitas yang melakukan pemrosesan data untuk kepentingan pelayanan publik, pemantauan sistematis, atau pengolahan data sensitif dalam skala besar wajib menunjuk DPO[2][15].
Keputusan ini tidak hanya memperluas cakupan kewajiban penunjukan DPO, tetapi juga menempatkan DPO sebagai figur sentral yang harus dijalankan secara serius dan profesional, sejalan dengan standar global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa[1][2].
Meski putusan MK memperkuat kerangka hukum di dalam negeri, tantangan besar masih ada terkait cross-border data transfer. Pasal 56 UU PDP mengatur transfer data berdasarkan kondisi adequacy atau persetujuan subjek data, namun belum mengakomodasi mekanisme lain yang umum di dunia internasional, seperti perjanjian antar pemerintah (G2G), perjanjian bisnis (B2B), Standard Contractual Clauses (SCC), dan Binding Corporate Rules (BCR). Ketiadaan kerangka hukum yang lengkap ini menciptakan area abu-abu, di mana banyak transfer data berlangsung tanpa dasar hukum eksplisit [4][10][15].
Situasi ini berisiko mengorbankan hak privasi warga Indonesia demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Pengalaman Uni Eropa menjadi pelajaran berharga. Setelah pembatalan Safe Harbor dan Privacy Shield oleh pengadilan Uni Eropa karena dianggap tidak menjamin perlindungan data yang memadai, Uni Eropa dan Amerika Serikat meluncurkan Data Privacy Framework baru pada 2023 yang memperkuat pembatasan pengawasan intelijen dan menyediakan mekanisme penanganan keluhan hukum bagi warga[4][5][6][16].
Hal ini menegaskan bahwa pelindungan data yang efektif harus didukung oleh landasan hukum dan kelembagaan yang kuat, bukan sekadar kebiasaan atau perjanjian sepihak.
Konflik Regulasi dan Tantangan dalam Komitmen Internasional
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) mengadopsi prinsip ekstrateritorialitas, yakni prinsip yang memperluas kewajiban pelindungan data pribadi hingga melampaui batas-batas wilayah Indonesia. Artinya, setiap pemrosesan data pribadi warga negara Indonesia—di mana pun data tersebut berada—tetap tunduk pada ketentuan hukum Indonesia. Pendekatan ini menandai komitmen negara untuk memberikan pelindungan menyeluruh atas hak privasi, bahkan di tengah globalisasi sistem informasi [15].
Namun, prinsip tersebut menghadapi tantangan besar ketika berhadapan dengan rezim hukum negara mitra dagang utama, terutama Amerika Serikat, yang hingga kini belum memiliki regulasi federal yang komprehensif dalam bidang pelindungan data pribadi. Sistem pelindungan data di AS bersifat sektoral, diatur secara terpisah untuk sektor kesehatan (HIPAA), keuangan (GLBA), anak-anak (COPPA), dan sebagainya [6]. Ketiadaan payung hukum federal yang seragam menyebabkan standar pelindungan data di AS tidak sejalan dengan prinsip “setara atau lebih tinggi” yang disyaratkan oleh UU PDP untuk transfer data lintas negara [2].
Kesenjangan ini menjadi semakin serius jika dilihat dari sisi pengawasan negara terhadap data. Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) Section 702 memungkinkan pemerintah AS—melalui badan intelijen—mengakses data warga negara asing tanpa perlu melalui mekanisme peradilan atau surat perintah individual [6]. Praktik semacam ini dianggap melanggar prinsip proporsionalitas dan transparansi, dua pilar utama dalam pelindungan data modern sebagaimana tercantum dalam UU PDP dan standar internasional seperti GDPR [1][15].
Akibatnya, data pribadi warga Indonesia yang dipindahkan ke Amerika Serikat berisiko terekspos pada praktik pengawasan yang tidak didukung oleh pelindungan hukum yang setara. Ketimpangan ini menciptakan risiko ketidakadilan hukum yang secara langsung merugikan subjek data Indonesia, terutama dalam hal hak atas privasi dan kontrol terhadap informasi pribadi mereka [2][14][17].
Untuk memperjelas perbedaan mendasar dalam pendekatan hukum dan implementasi pelindungan data antarnegara, berikut disajikan tabel komparatif yang membandingkan ketentuan utama dalam GDPR (Uni Eropa), UU PDP (Indonesia), dan sistem hukum federal Amerika Serikat terkait isu pelindungan data pribadi.
Perbandingan Rezim Pelindungan Data: Uni Eropa (GDPR) vs Indonesia (UU PDP) vs Amerika Serikat
Aspek | GDPR (Uni Eropa) | UU PDP (Indonesia) | Amerika Serikat (Federal) |
Status Hukum | Regulasi supranasional, mengikat seluruh negara anggota | Undang-Undang Nasional (UU No. 27 Tahun 2022) | Tidak ada regulasi federal komprehensif |
Prinsip Utama | Lawfulness, fairness, transparency, purpose limitation, minimization, accountability | Legalitas, transparansi, pembatasan tujuan, akuntabilitas, partisipasi | Bervariasi per sektor (HIPAA, GLBA, COPPA, dll.) |
Ekstrateritorialitas | Ya, berlaku global jika memproses data warga UE | Ya, berlaku untuk data warga Indonesia di luar negeri | Tidak berlaku secara ekstrateritorial |
Standar Transfer Data Internasional | Hanya ke negara dengan “adequate level of protection” | Harus ke negara dengan pelindungan “setara atau lebih tinggi” | Tidak menetapkan standar kecuali secara kontraktual |
Hak Individu | Akses, koreksi, penghapusan, portabilitas, keberatan | Akses, koreksi, penghapusan, keberatan, penghentian proses | Tergantung sektor; hak terbatas dan tidak universal |
Sanksi | Hingga €20 juta atau 4% dari pendapatan tahunan global | Hingga 2% dari pendapatan tahunan atau Rp6 miliar | Ditetapkan berdasarkan undang-undang sektoral |
Lembaga Pengawas | Data Protection Authorities di setiap negara anggota | Otoritas Pelindungan Data Pribadi (dalam pembentukan) | Tidak ada otoritas nasional tunggal |
Akses Pemerintah (Surveillance) | Dibatasi, tunduk pada proporsionalitas dan legal review | Tidak dibahas secara rinci dalam UU PDP | FISA 702 mengizinkan akses tanpa perintah pengadilan |
Jika Indonesia tetap melanjutkan perjanjian perdagangan yang mewajibkan liberalisasi arus data tanpa syarat pelindungan yang setara, maka pengendali data di luar negeri akan mendapat keleluasaan untuk memproses data warga Indonesia tanpa jaminan hukum yang sama seperti yang berlaku di tanah air [2][14].
Sebagaimana diingatkan oleh Cyberhub.id (25 Juli 2025), komitmen dalam perjanjian perdagangan seperti antara Indonesia dan Amerika Serikat berpotensi menjadi “konsesi yang terlalu mahal” [2]. Imbalan ekonomi jangka pendek seperti penurunan tarif ekspor, peningkatan investasi asing, atau akses ke pasar teknologi global bisa mengorbankan nilai-nilai fundamental seperti pelindungan data dan kedaulatan digital [2][11]. Bahkan, jika tidak dikawal secara ketat, komitmen semacam ini berpotensi menggerus supremasi hukum nasional dan membuka ruang bagi praktik pengawasan asing atas data warga Indonesia [2][14].
Lebih jauh lagi, ketimpangan tersebut menciptakan risiko fragmentasi regulasi, di mana data Indonesia diproses di yurisdiksi yang tidak mengakui hak-hak data sebagaimana yang dijamin UU PDP. Hal ini mengurangi efektivitas pelaksanaan hak atas akses, koreksi, keberatan, dan penghapusan data, serta memperlemah posisi Indonesia dalam menegakkan keadilan lintas yurisdiksi [10].
Dengan demikian, tantangan utama Indonesia bukan hanya menjaga daya saing dalam perdagangan digital global, tetapi juga memastikan bahwa setiap komitmen internasional tidak mengkompromikan prinsip pelindungan data, kedaulatan digital, dan supremasi hukum nasional.
Dampak pada Ekosistem Lokal
Kedaulatan digital bukan sekadar jargon kebijakan atau konsep abstrak, tetapi menyangkut kontrol strategis atas sumber daya digital nasional, termasuk data pribadi warga negara, infrastruktur digital, dan kebijakan pengelolaan informasi [11][15]. Ketika data warga Indonesia diproses, disimpan, atau dialihkan ke luar negeri—terutama ke negara yang tidak memiliki pelindungan data setara—kendali atas data tersebut secara praktis berpindah dari tangan otoritas nasional ke otoritas asing [2][14].
Kondisi ini sangat nyata dalam konteks hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat. Berdasarkan FISA Section 702, badan intelijen AS memiliki kewenangan untuk mengakses data warga negara asing yang disimpan oleh penyedia layanan digital yang berbasis di AS, tanpa persetujuan pengguna atau surat perintah dari pengadilan [6]. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa data warga Indonesia yang disimpan di layanan seperti Google, Microsoft, atau Amazon Web Services berpotensi diakses oleh lembaga asing tanpa pengawasan yudisial yang setara dengan standar hukum Indonesia [14].
Seperti dilaporkan oleh Kompas, situasi ini menciptakan “pergeseran yurisdiksi diam-diam”, di mana hukum negara tujuan pengolahan data menjadi dominan, sementara regulasi Indonesia seperti UU PDP kehilangan efektivitasnya [11]. Dengan demikian, kedaulatan digital Indonesia secara perlahan tergerus—tidak dengan senjata atau perang dagang, tetapi melalui saluran hukum dan arsitektur teknologi yang dikuasai oleh negara dan korporasi asing [14][15].
Dampak lain yang lebih luas adalah pada ekosistem teknologi dan ekonomi digital nasional. Komitmen dalam berbagai perjanjian perdagangan digital kerap mencantumkan klausul larangan data localization, yaitu kewajiban negara untuk tidak memaksakan pembangunan pusat data (data center) lokal [7][8][14].
Tanpa keharusan ini, perusahaan teknologi global tidak memiliki insentif untuk menanamkan modal infrastruktur di Indonesia. Hal ini menimbulkan tiga dampak utama:
- Menurunnya insentif investasi teknologi dalam negeri. Ketika perusahaan asing tidak perlu lagi membangun infrastruktur lokal, arus modal dan teknologi yang seharusnya mendukung pertumbuhan sektor digital dalam negeri akan mengalir ke luar negeri [7][8]. Hal ini menghambat terbentuknya ekosistem teknologi yang mandiri dan kompetitif [14].
- Melemahnya industri cloud dan penyedia layanan lokal. Tanpa pelindungan kebijakan, penyedia cloud lokal dipaksa bersaing dengan raksasa global seperti Amazon Web Services, Google Cloud, dan Microsoft Azure, yang memiliki skala ekonomi dan sumber daya besar. Akibatnya, industri nasional kesulitan untuk berkembang dan mempertahankan keberlanjutannya [3][11].
- Meningkatnya ketergantungan terhadap infrastruktur dan kebijakan asing. Ketika sistem informasi nasional berjalan di atas infrastruktur yang dikuasai negara atau korporasi asing, maka kedaulatan atas keputusan kebijakan, keamanan nasional, dan bahkan layanan publik menjadi rapuh. Dalam situasi krisis geopolitik atau konflik diplomatik, akses terhadap infrastruktur kritikal pun bisa terganggu [14][19].
Kritik terhadap liberalisasi arus data lintas negara tanpa batas juga datang dari media dan pakar keamanan siber. Cyberhub.id secara konsisten menyoroti bahwa pelonggaran regulasi transfer data berisiko menjadikan Indonesia sebagai “jebakan ekonomi digital”, di mana negara hanya berperan sebagai pasar konsumen tanpa kemampuan produksi digital yang berdaulat [3].
Sebagai negara berkembang dengan potensi ekonomi digital yang besar, Indonesia tidak boleh sekadar menjadi ladang eksploitasi data bagi korporasi global. Kebijakan data harus dirancang secara strategis untuk memperkuat posisi tawar negara, mendorong pertumbuhan industri teknologi lokal, serta menjamin hak-hak digital warga negaranya [11][15].
Pelindungan data bukan semata persoalan teknis atau privasi, melainkan juga mencakup keadilan ekonomi, ketahanan nasional, dan pelindungan hak asasi manusia di era digital. Tanpa kendali atas arus data lintas batas dan infrastruktur digital, kedaulatan negara hanya akan menjadi simbol kosong di tengah dominasi arsitektur internet global oleh kekuatan asing.
Data Localization sebagai Pilar Kedaulatan Digital
Dalam konteks pertarungan geopolitik dan kompetisi teknologi global, data localization—kebijakan yang mewajibkan penyimpanan dan pemrosesan data dalam wilayah hukum negara asal—semakin menjadi instrumen penting untuk memperkuat kedaulatan digital. Meski sering dipandang sebagai hambatan dalam liberalisasi ekonomi digital, data localization justru merupakan bentuk pelindungan strategis atas hak warga negara, integritas hukum nasional, serta ketahanan infrastruktur siber [13][14].
Indonesia sendiri sempat menerapkan kebijakan localization yang relatif ketat melalui Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, yang mengharuskan data strategis disimpan di dalam negeri. Namun, tekanan dari sektor swasta global dan agenda perdagangan bebas kemudian mendorong pelonggaran kebijakan tersebut [2][14]. Kini, tanpa keharusan eksplisit membangun pusat data lokal, perusahaan asing bebas menyimpan dan mengolah data warga Indonesia di luar negeri—yang dalam praktiknya berarti di yurisdiksi asing dengan standar pelindungan hukum yang belum tentu sepadan [3][7].
Kebijakan data localization seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk proteksionisme digital yang kaku, tetapi sebagai mekanisme kebijakan publik untuk memastikan kontrol negara atas data warganya, terutama yang bersifat sensitif atau strategis [14]. Banyak negara telah mengadopsi pendekatan serupa, termasuk:
- India, yang melalui Digital Personal Data Protection Act 2023 mendorong penyimpanan data penting di dalam negeri dan mengatur ketat transfer data ke luar negeri [12].
- Tiongkok, yang mewajibkan perusahaan asing yang mengumpulkan data warga negara Tiongkok untuk mematuhi aturan penyimpanan lokal dan melakukan security assessment sebelum transfer lintas batas.
- Rusia, yang secara eksplisit mensyaratkan semua data pribadi warga negara disimpan di server dalam negeri.
Dalam konteks Indonesia, penerapan model data localization yang proporsional dan berbasis risiko dapat memberikan sejumlah keuntungan strategis [11]:
- Peningkatan kendali hukum dan pengawasan. Data yang tersimpan di wilayah hukum Indonesia berada dalam jangkauan otoritas nasional, memungkinkan pengawasan yang lebih efektif oleh Otoritas PDP dan lembaga penegak hukum.
- Mitigasi risiko pengawasan asing. Dengan menyimpan data di dalam negeri, risiko akses tanpa persetujuan oleh badan intelijen asing—sebagaimana yang dimungkinkan oleh FISA Section 702—dapat ditekan secara signifikan [6].
- Pendorong pertumbuhan industri data lokal. Kebijakan localization menciptakan insentif bagi pembangunan pusat data, pengembangan cloud lokal, dan penciptaan lapangan kerja dalam ekosistem teknologi domestik [8].
- Memperkuat bargaining power Indonesia dalam negosiasi internasional. Dengan menerapkan localization sebagai baseline kebijakan, Indonesia dapat lebih percaya diri dalam menetapkan syarat pelindungan data dalam perjanjian perdagangan digital.
Namun demikian, data localization harus dirancang secara cerdas dan selektif. Tidak semua data harus disimpan di dalam negeri—melainkan hanya data yang tergolong strategis, sensitif, atau berdampak pada ketahanan nasional [14][15]. Indonesia perlu menetapkan kategori data strategis secara jelas dan membangun kapasitas infrastruktur digital yang memadai untuk menampung kebijakan tersebut [8].
Selain itu, perlu dibentuk mekanisme penilaian risiko transfer data (data transfer impact assessment), yang menimbang aspek teknis, hukum, dan geopolitik sebelum data dipindahkan ke luar negeri. Mekanisme ini akan menjadi alat vital bagi Otoritas PDP dalam mengambil keputusan berbasis prinsip kehati-hatian [5][14].
Dengan pendekatan yang seimbang, data localization tidak perlu menjadi penghalang inovasi, melainkan fondasi bagi ekosistem digital nasional yang tangguh, adil, dan berdaulat. Indonesia tidak boleh tergesa-gesa menghapus prinsip localization hanya demi mengejar investasi jangka pendek, karena harga yang harus dibayar dalam jangka panjang adalah hilangnya kendali atas salah satu aset paling strategis di era digital: data [2][14][18].
Belajar dari UE: Standar Ketat GDPR dan Transfer Data
Uni Eropa adalah contoh paling konsisten dalam menjadikan pelindungan data pribadi sebagai hak fundamental yang tidak bisa dinegosiasikan semata-mata demi kepentingan ekonomi. Melalui kerangka General Data Protection Regulation (GDPR), Uni Eropa menetapkan standar hukum tertinggi untuk pelindungan data pribadi di dunia [4][5]. Ketegasan ini terlihat dari berbagai kebijakan dan keputusan hukum yang menolak mekanisme transfer data lintas batas yang tidak memenuhi prinsip adequate level of protection[1][5].
Selama lebih dari dua dekade, Uni Eropa berkali-kali berhadapan dengan Amerika Serikat terkait pelindungan data. Tiga mekanisme utama yang pernah digunakan menunjukkan kompleksitas dan konsistensi pendekatan UE:
- Safe Harbor (2000–2015). Diinisiasi sebagai kerangka kerja yang memungkinkan perusahaan AS mematuhi standar UE saat mengelola data warga Eropa. Namun, mekanisme ini dibatalkan oleh Court of Justice of the European Union (CJEU) pada 2015 karena dinilai tidak memberikan jaminan memadai terhadap praktik pengawasan oleh badan intelijen AS [1][17].
- Privacy Shield (2016–2020). Dibentuk sebagai pengganti Safe Harbor dengan pendekatan yang sedikit lebih ketat. Namun dalam kasus Schrems II (2020), CJEU kembali membatalkannya karena praktik pengawasan di AS dinilai tidak proporsional dan warga Uni Eropa tidak memiliki mekanisme hukum efektif untuk menentangnya [1][5][17].
- EU–U.S. Data Privacy Framework (DPF, 2023). Merupakan upaya terbaru yang mencakup reformasi kebijakan pengawasan di AS, termasuk pembentukan Data Protection Review Court, serta penegasan prinsip necessary and proportionate dalam akses intelijen terhadap data asing. Meskipun DPF masih menghadapi kritik, pendekatan ini menunjukkan kemauan politik dan hukum UE untuk mempertahankan standar pelindungan data secara konsisten [4][16].
Dari pengalaman ini, terdapat pelajaran penting bagi Indonesia:
- Pelindungan data tidak bisa dianggap sebagai komoditas dagang. Uni Eropa menolak mentoleransi kerangka transfer data ke negara yang tidak memenuhi prinsip pelindungan data yang memadai, meskipun terdapat potensi kerugian ekonomi atau tekanan politik dari mitra dagang besar seperti AS [1][4].
- Negara harus menyiapkan instrumen hukum yang memungkinkan pengendalian lintas batas. GDPR menyediakan jalur hukum yang jelas bagi warga negara, mekanisme pengaduan, hingga sanksi terhadap perusahaan asing yang tidak mematuhi regulasi [5].
- Keadilan dan proporsionalitas harus menjadi prinsip utama dalam pengawasan negara. Ini sejalan dengan rekomendasi lembaga internasional seperti OECD dan World Economic Forum, yang mendorong prinsip Data Free Flow with Trust—arus data lintas batas yang dibangun di atas rasa saling percaya, akuntabilitas, dan pelindungan hak asasi [13][18][19].
Uni Eropa menunjukkan bahwa keterlibatan dalam ekonomi digital global tidak harus mengorbankan kedaulatan hukum nasional atau hak privasi warga negara. Dengan keberanian untuk menetapkan standar, negara dapat membentuk arsitektur transfer data lintas batas yang aman, adil, dan setara.
Indonesia perlu belajar dari pendekatan ini. Apalagi dalam konteks global yang semakin kompleks, mekanisme transfer data lintas batas harus ditopang oleh kesetaraan hukum, kesepahaman standar pelindungan, dan jalur akuntabilitas internasional. Tanpa itu, Indonesia berisiko terjebak dalam asimetri kekuasaan digital, di mana hak warganya dikompromikan demi integrasi pasar global.
Menjaga Kedaulatan Data
Di tengah arus liberalisasi digital global, Indonesia tidak bisa hanya menjadi penonton atau sekadar pasar bagi raksasa teknologi asing. Tantangan arus data lintas batas bukan hanya soal efisiensi teknis, melainkan persoalan kedaulatan, hak asasi, dan masa depan ekonomi digital nasional. Negara membutuhkan kerangka yang bukan hanya reaktif, tetapi proaktif dan strategis [14]. Indonesia harus membangun arsitektur tata kelola data yang mampu menjawab tuntutan keterbukaan global tanpa mengorbankan prinsip dasar pelindungan data pribadi.
Langkah ke depan tidak cukup hanya dengan memiliki undang-undang. Indonesia membutuhkan kelembagaan yang kuat, standar yang sejajar dengan dunia, serta komitmen yang sejalan dengan norma global tentang data free flow with trust [13][18][19]. Berikut tiga pilar utama yang dapat menjadi fondasi langkah Indonesia ke depan:
1. Peran Strategis Otoritas Pelindungan Data Pribadi
Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 27 Tahun 2022, Otoritas Pelindungan Data Pribadi (PDP) memegang peran kunci dalam mengatur, mengawasi, dan memastikan transfer data lintas batas berjalan sesuai prinsip pelindungan hukum [15]. Namun, peran itu tidak akan efektif tanpa mandat kuat, sumber daya memadai, dan independensi dari tekanan politik maupun ekonomi.
Untuk menghadapi kompleksitas perjanjian perdagangan digital dan relasi asimetris dengan negara-negara besar, Otoritas PDP harus diberi kewenangan untuk:
Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap yurisdiksi negara tujuan transfer data, dengan menilai sejauh mana negara tersebut memiliki hukum pelindungan data yang setara dan efektif [14].
- Menyusun dan menyetujui mekanisme transfer data internasional yang sah dan aman, termasuk Binding Corporate Rules (BCRs), Standard Contractual Clauses (SCCs), dan Data Adequacy Agreements.
- Mengawasi praktik perusahaan asing dalam mengakses, menyimpan, dan memproses data warga Indonesia agar sesuai dengan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan hak individu [15].
- Membangun saluran pengaduan, investigasi, dan penyelesaian sengketa lintas yurisdiksi [14].
- Menegakkan prinsip internasional necessary and proportionate untuk menolak pengawasan negara asing yang bersifat massal dan tanpa dasar hukum yang sah [4][5][16].
Jika otoritas ini tidak diberdayakan secara serius, maka seluruh kerangka UU PDP akan kehilangan kekuatan praktisnya, terutama dalam menghadapi perusahaan teknologi global dan negara-negara dengan yurisdiksi yang agresif terhadap data asing.
2. Penerapan Standar Internasional dan Tata Kelola yang Kredibel
Menghadapi kompleksitas arus data global, Indonesia tidak cukup hanya bersandar pada norma nasional. Diperlukan integrasi dengan standar internasional yang telah terbukti kredibel dan diakui secara global, khususnya dalam hal keamanan informasi dan pelindungan data pribadi [13][14]. Standar ISO menjadi acuan penting:
- ISO/IEC 27018:2019 – panduan pelindungan data pribadi di layanan cloud publik, termasuk mekanisme kontrol pengungkapan data lintas negara.
- ISO/IEC 27701:2019 – kerangka Privacy Information Management System.
- ISO/IEC 29100:2011 – kerangka kerja privasi global, termasuk prinsip batasan transfer data [9].
- ISO/IEC 27001:2022 – sistem manajemen keamanan informasi yang mencakup risiko lokasi penyimpanan dan transfer data antarnegara.
Penerapan standar ini akan memberikan Indonesia kredibilitas dalam negosiasi global serta meningkatkan kepercayaan investor terhadap ekosistem digital nasional.
3. Konsistensi dengan Kerangka Global: OECD dan WEF
Dalam forum internasional seperti OECD dan World Economic Forum (WEF), berkembang pendekatan Data Free Flow with Trust (DFFT): keseimbangan antara kebutuhan transfer data untuk inovasi dan perdagangan, serta pelindungan hak dan kedaulatan [13][18][19].
OECD dan WEF merekomendasikan agar negara-negara:
- Menerapkan interoperabilitas kebijakan privasi, tanpa harus menyamakan hukum secara absolut namun tetap mencapai hasil pelindungan yang sepadan [13].
- Mengembangkan mekanisme due diligence untuk menilai tata kelola data di negara tujuan [14][18].
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan data oleh entitas publik dan swasta [19].
Dengan terlibat aktif dalam kerangka ini, Indonesia dapat menjadi pemain yang disegani dalam tata kelola digital internasional, sekaligus memperjuangkan model pelindungan data yang menghormati kedaulatan dan HAM [14][19].
Kedaulatan digital tidak akan terjaga hanya dengan regulasi yang baik—ia harus diperkuat dengan kelembagaan yang tegas, standar yang dapat dioperasionalisasikan, dan diplomasi yang visioner. Indonesia harus merancang strategi jangka panjang dalam menghadapi arus data lintas batas: bukan hanya sebagai penerima arus, tetapi sebagai penentu arah.
Penutup
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan keterbukaan digital dengan pelindungan kedaulatan data. Di tengah arus globalisasi ekonomi digital, kelancaran transfer data lintas batas memang penting, namun tidak boleh mengorbankan hak privasi warga, supremasi hukum nasional, dan kontrol atas infrastruktur strategis.
Pengalaman Uni Eropa menunjukkan bahwa pelindungan data pribadi dapat berjalan seiring dengan keterlibatan aktif dalam pasar global. Prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan pelindungan yang setaraharus menjadi dasar setiap kebijakan transfer data.
Kedaulatan digital bukan bentuk isolasi, tetapi upaya mempertahankan kendali negara atas data warganya di tengah dominasi teknologi asing. Oleh karena itu, Indonesia perlu memperkuat kelembagaan, mengadopsi standar internasional, serta menyesuaikan perjanjian dagang agar tidak bertentangan dengan prinsip pelindungan data dan kedaulatan hukum.
Data adalah aset strategis. Arus data lintas batas harus menjadi jembatan menuju kemandirian digital—bukan pintu masuk ketergantungan struktural.
Daftar Referensi
[1] Costello, R. Á. (2020). Schrems II: Everything Is Illuminated? European Papers. https://www.europeanpapers.eu/europeanforum/schrems-II-everything-is-illuminated
[2] Cyberhub.Id. (2025, 25 Juli). Transfer Data: Konsesi yang Terlalu Mahal. https://cyberhub.id/berita/transfer-data-konsesi-yang-mahal
[3] Cyberhub.Id. (2025, 4 Agustus). Kesepakatan Data RI-AS Bisa Guncang Industri Cloud Lokal. https://cyberhub.id/berita/kesepakatan-data-ri-as-guncang-cloud
[4] European Commission. (2023). EU-U.S. Data Privacy Framework: FAQs and legal texts.https://ec.europa.eu/info/law/law-topic/data-protection
[5] European Data Protection Board. (2020, 23 Juli). Frequently Asked Questions on the judgment of the Court of Justice of the European Union in Case C-311/18 – Data Protection Commissioner v Facebook Ireland Ltd and Maximillian Schrems. https://idpc.org.mt/wp-content/uploads/2020/07/FAQ-PRIVACY-SHIELD-SCHREMS-II.pdf
[6] Foreign Intelligence Surveillance Act. (n.d). FISA Section 702: A One Page Overview. https://www.intel.gov/foreign-intelligence-surveillance-act/fisa-section-702
[7] Information Technology & Innovation Foundation. (2021). How Barriers to Cross-Border Data Flows Are Spreading Globally, What They Cost, and How to Address Them. https://itif.org/publications/2021/07/19/how-barriers-cross-border-data-flows-are-spreading-globally-what-they-cost/
[8] Institute of International Finance. (2020). Data Localization: Costs, Tradeoffs, and Impacts Across the Economy. https://www.iif.com/portals/0/Files/content/Innovation/12_22_2020_data_localization.pdf
[9] International Organization for Standardization. (2011). ISO/IEC 29100:2011 – Privacy framework. https://www.iso.org/standard/45123.html
[10] Kompas. (2025, 28 Juli). Kendali Lintas Batas Data Pribadi. https://www.kompas.id/artikel/kendali-lintas-batas-data-pribadi
[11] Kompas. (2025, 2 Agustus). Lokalisasi Data dan Kedaulatan Digital: Bagaimana Posisi Indonesia? https://www.kompas.id/artikel/lokalisasi-data-dan-kedaulatan-digital-apa-posisi-indonesia
[12] Ministry of Electronics and Information Technology, Government of India. (2023). The Digital Personal Data Protection Act, 2023. https://www.meity.gov.in/static/uploads/2024/06/2bf1f0e9f04e6fb4f8fef35e82c42aa5.pdf
[13] OECD. (2022). Cross-border data flows: Taking stock of key policies and initiatives. https://www.oecd.org/en/publications/cross-border-data-flows_5031dd97-en.html
[14] OECD. (2023). The Nature, Evolution and Potential Implications of Data Localisation Measures. OECD Trade Policy Paper. https://www.oecd.org/content/dam/oecd/en/publications/reports/2023/11/the-nature-evolution-and-potential-implications-of-data-localisation-measures_249df37e/179f718a-en.pdf
[15] Pemerintah Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi. https://peraturan.bpk.go.id/Details/229798/uu-no-27-tahun-2022
[16] U.S. Department of Commerce. (2023). Data Privacy Framework program overview. The International Trade Administration (ITA), U.S. Department of Commerce. https://www.dataprivacyframework.gov
[17] Wibowo, S. (2025, 3 Agustus). Komparasi Hukum PDP: Transfer Data EU – US. LinkedIn. https://www.linkedin.com/posts/swibowo_perkembangan-mekanisme-transfer-data-ue-activity-7357566450569527297-rkVk
[18] World Economic Forum. (2020). Data Free Flow with Trust (DFFT): Paths towards Free and Trusted Data Flows. https://www.weforum.org/publications/data-free-flow-with-trust-dfft-paths-towards-free-and-trusted-data-flows/
[19] World Economic Forum. (2023). Data Free Flow with Trust: Overcoming Barriers to Cross-Border Data Flows. https://www3.weforum.org/docs/WEF_Data_Free_Flow_with_Trust_2022.pdf