Mengenal Gaya Avoidant yang Tren di TikTok dan Media Sosial


Ilustrasi Avoid

Ilustrasi Avoid

Belakangan ini istilah “avoidant” ramai berseliweran di media sosial, terutama TikTok. Banyak pengguna membagikan pengalaman hubungan romantis, mengulas gaya keterikatan dalam hubungan (attachment style), hingga melakukan self-diagnose berdasarkan perilaku pasangan atau diri sendiri. Konten yang menyoroti bagaimana seseorang menjaga jarak, sulit terbuka secara emosional, atau tampak menghindari kedekatan mendapat respons besar dari warganet karena dianggap relevan dengan dinamika percintaan masa kini.

Namun, maraknya pembahasan ini tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa seseorang dengan gaya avoidant tidak ingin mencintai, tidak ingin berkomitmen, atau tidak mampu membangun hubungan. Padahal, konteks psikologis di balik istilah tersebut jauh lebih mendalam dan kompleks.

 
Apa Itu Gaya Keterikatan “Avoidant”?

Menurut Cleveland Clinic, seperti dijelaskan oleh psikolog klinis Dr. Kendra Mathys, avoidant attachment style merupakan salah satu bentuk gaya keterikatan tidak aman (insecure attachment). Pola ini ditandai dengan ketidaknyamanan terhadap keintiman emosional serta kebutuhan kuat akan kemandirian dan kontrol diri.

Orang dengan gaya avoidant bukan tidak mampu mencintai, namun mereka memiliki keyakinan mendasar bahwa kedekatan emosional dapat berujung pada kekecewaan atau kehilangan. Untuk melindungi diri dari rasa sakit tersebut, mereka cenderung:

  • Menjaga jarak secara emosional
  • Menghindari ekspresi perasaan secara mendalam
  • Mengutamakan kemandirian daripada kedekatan
  • Tidak nyaman ketika pasangan terlalu bergantung

Di permukaan, mereka mungkin tampak dingin atau tidak peduli. Namun sebenarnya, mereka tetap mendambakan hubungan yang stabil dan terasa aman, hanya saja cara mereka menjalaninya berbeda.

 
Akar Terbentuknya Pola Avoidant

Gaya keterikatan seseorang umumnya terbentuk sejak masa kanak-kanak. Dalam kasus avoidant, pola ini sering muncul ketika seorang anak tumbuh di lingkungan yang:

  • Kurang responsif terhadap kebutuhan emosional
  • Menganggap ekspresi perasaan sebagai kelemahan
  • Mengabaikan atau tidak memberikan empati ketika anak mencari kenyamanan
  • Mengutamakan “kemandirian” secara ekstrem sejak kecil

Dalam situasi tersebut, anak belajar bahwa mengandalkan orang lain tidak aman. Respons alami mereka sebagai bentuk pertahanan diri adalah menekan perasaan dan bersikap mandiri sepenuhnya.

Ketika dewasa, pola ini terbawa ke dalam hubungan romantis maupun sosial. Akibatnya, mereka bisa:

  • Merasa terancam atau tidak nyaman apabila seseorang terlalu dekat
  • Menjauh ketika konflik muncul
  • Memilih aktivitas sendiri daripada menghabiskan waktu berduaan
  • Sulit mengidentifikasi atau mengungkap kebutuhan emosionalnya

Ini semua bukan karena kurangnya rasa cinta, melainkan karena rasa takut akan kerentanan.

 
Mengapa Gaya Avoidant Sering Disalahpahami?

Di tengah budaya media sosial yang serba cepat mengategorikan perilaku, istilah avoidant sering dijadikan label untuk “pasangan yang susah diajak serius”. Padahal, kenyataannya jauh lebih rumit.

Orang dengan gaya avoidant bukan menolak hubungan serius, tetapi:

  • Mereka menunjukkan kasih sayang dengan cara berbeda, umumnya melalui tindakan nyata seperti bantuan, hadiah, atau dukungan praktis — bukan kata-kata penuh emosi atau ekspresi fisik yang intens.
  • Mereka membutuhkan ruang untuk merasa aman, bukan untuk menjauh karena tidak peduli.

Kesalahpahaman semakin besar ketika pasangan mereka justru memiliki gaya anxious attachment, yakni tipe yang haus kedekatan dan kepastian.
Kombinasi keduanya menciptakan pola tarik-ulurnya terkenal:

  • Pasangan anxious ingin lebih dekat → pasangan avoidant merasa terancam dan menjauh
  • Pasangan anxious makin mengejar → pasangan avoidant makin menutup diri

Dari luar, situasi ini terlihat seperti “hubungan tidak cocok”, padahal keduanya sama-sama menginginkan cinta — hanya memiliki pola yang berbeda untuk merasakannya.

 
Bisakah Gaya Avoidant Diubah?

Jawabannya: bisa. Gaya keterikatan bukan identitas permanen, melainkan pola emosional yang dapat berkembang.
Proses penyembuhan gaya avoidant dimulai dari:

  • Menyadari pola hubungan
    Mengakui bahwa menjaga jarak adalah respons pertahanan diri — bukan karakter buruk.
  • Belajar menafsirkan emosi
    Memahami apa yang sebenarnya dirasakan ketika kedekatan membuat tidak nyaman.
  • Mengizinkan diri menjadi rentan
    Dalam konteks hubungan yang aman, membuka diri bukan ancaman, melainkan bentuk kepercayaan.
  • Mencari bantuan profesional
    Psikoterapi dapat membantu seseorang menavigasi rasa takut terhadap kedekatan dan mengembangkan pola hubungan yang lebih aman (secure attachment).

Penyembuhan ini bukan proses instan, tetapi investasi menuju hubungan yang lebih sehat, stabil, dan penuh kepercayaan — dimulai dari keberanian mengenal diri.

 
Fenomena Tren “Avoidant” di Media Sosial: Antara Edukasi dan Simplifikasi

Tidak dapat dipungkiri, meningkatnya pembahasan attachment style di TikTok dan platform lain menunjukkan bahwa generasi muda mulai lebih terbuka membicarakan emosi, trauma masa lalu, dan kesehatan mental. Ini sebuah kemajuan.

Namun, ada risiko apabila istilah seperti “avoidant”, “anxious”, atau “disorganized” digunakan hanya sebagai label atau pembenaran perilaku, misalnya:

  • “Aku avoidant, jadi wajar kalau aku ghosting.”
  • “Aku anxious, jadi aku memang butuh kepastian terus menerus.”

Attachment style seharusnya membantu seseorang memahami pola emosinya, bukan menjadi alasan untuk melukai diri sendiri atau pasangan.

Istilah “avoidant” bukan sekadar tren TikTok atau label kepribadian untuk menggambarkan seseorang yang sulit diajak berkomitmen. Di baliknya, ada sejarah emosional yang terbentuk sejak masa kecil, tentang bagaimana seseorang belajar bertahan dari ketidaknyamanan atau kekecewaan.

Dengan kesadaran diri, empati, dan dukungan yang tepat, siapa pun dapat membangun hubungan yang hangat, aman, dan penuh kepercayaan.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait