Agar Tak Salah Langkah, Begini Cara Aman Belanja Sistem AI
- Rita Puspita Sari
- •
- 18 Nov 2025 19.45 WIB
Ilustrasi Procurement Sector
Adopsi teknologi Artificial Intelligence (AI) di sektor publik kini melaju dengan sangat cepat. Pemerintah di berbagai negara berlomba-lomba memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan efisiensi layanan, mempercepat proses administrasi, serta menekan biaya operasional. Namun, lonjakan adopsi ini juga membuka kenyataan yang tak bisa diabaikan: banyak instansi pemerintah belum benar-benar siap untuk membeli, menilai, dan menerapkan sistem AI dengan cara yang tepat.
Tidak sedikit proyek AI yang akhirnya berakhir gagal. Alasannya beragam, mulai dari pembelian sistem yang tidak sesuai kebutuhan, kurangnya kemampuan teknis untuk mengintegrasikan teknologi, hingga kegagalan memverifikasi klaim vendor. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah publik, karena proyek tersebut menghabiskan anggaran tanpa memberi manfaat nyata.
Melihat hal tersebut, Open Contracting Partnership (OCP) merilis sebuah laporan penting berjudul “Buying AI: Tools and Tips for Public Procurement”. Laporan ini memberikan panduan praktis agar pemerintah dapat membeli dan menerapkan sistem AI dengan cara yang lebih matang, transparan, dan bertanggung jawab. Organisasi ini beroperasi di lebih dari 50 negara dan berfokus memastikan dana publik digunakan secara efektif—baik dari sisi proses maupun hasil.
Artikel ini membahas temuan utama laporan tersebut, tantangan yang dihadapi sektor pengadaan, serta contoh nyata dari pemerintah yang berhasil memanfaatkan AI secara optimal.
Tantangan Utama dalam Pengadaan AI di Sektor Publik
Laporan OCP disusun berdasarkan wawancara dan lokakarya dengan lebih dari 50 praktisi sektor publik dari berbagai negara. Temuan mereka menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada teknologi AI itu sendiri, melainkan pada cara pemerintah membelinya.
-
Tekanan untuk “ikut memakai AI” tanpa persiapan matang
Banyak instansi pemerintah merasa perlu segera mengadopsi AI agar tidak tertinggal. Tekanan ini membuat mereka terburu-buru membeli sistem tanpa memahami kebutuhan sebenarnya. Akibatnya:- AI dibeli hanya karena “sedang tren”.
- Solusi tidak sesuai dengan masalah di lapangan.
- Proyek sulit diintegrasikan dengan sistem lama.
Kaye Sklar, Senior Program Manager di OCP, menegaskan bahwa perlombaan menggunakan AI sering kali membuat pemerintah melangkah tanpa persiapan fundamental.
-
Kurangnya kapasitas teknis untuk menilai teknologi
Dalam banyak kasus, tim pengadaan dan pejabat pemerintah tidak memiliki keahlian teknis untuk memvalidasi klaim vendor mengenai teknologi AI. Kondisi ini membuka celah bagi:- Pembelian teknologi yang tidak bekerja sebagaimana dijanjikan,
- Ketergantungan penuh pada vendor,
- Kesulitan mengukur efektivitas atau dampak teknologi.
Tanpa kemampuan teknis internal, pemerintah tidak dapat menantang klaim vendor atau memprediksi risiko implementasi.
-
Minimnya tata kelola dan standar AI
AI bukan sekadar perangkat lunak biasa. Teknologi ini berkaitan dengan:- keamanan data,
- bias algoritma,
- privasi,
- etika penggunaan,
- serta aspek hukum lainnya.
Sayangnya, banyak instansi belum memiliki pedoman atau standar untuk memastikan AI digunakan secara bertanggung jawab. Tanpa pedoman tersebut, risiko kegagalan dan pelanggaran hukum menjadi lebih besar.
-
Dampak kegagalan yang jauh lebih besar dari sekadar kerugian finansial
Kegagalan proyek AI bukan hanya membuang anggaran publik. Dampaknya merembet ke aspek lain yang tak kalah penting:- menurunnya kepercayaan masyarakat,
- resistensi politik terhadap proyek teknologi berikutnya,
- citra pemerintah sebagai lembaga yang tidak siap menghadapi perubahan.
Sekali kepercayaan publik hilang, butuh waktu dan upaya besar untuk memulihkannya.
Belajar dari Negara yang Berhasil Mengelola Pengadaan AI
Tidak semua instansi pemerintah terjebak dalam pola yang salah. Beberapa negara menunjukkan bahwa AI dapat memberikan manfaat nyata jika pengadaannya dikelola dengan tepat.
-
Amerika Serikat — Centers for Medicare and Medicaid Services (CMS)
CMS adalah salah satu contoh sukses dalam implementasi AI di sektor publik. Bekerja sama dengan Skyward IT Solutions, lembaga ini mengadakan layanan AI dan machine learning untuk memodernisasi operasional dengan hasil yang sangat signifikan.Inisiatif yang dilakukan CMS antara lain:
- Chatbot internal yang membuat proses pembuatan tiket layanan lebih cepat dan efisien.
- Alat analisis pengadaan berbasis AI yang mampu mengidentifikasi pola dan peluang penghematan.
Hasilnya, CMS berhasil menghemat sekitar USD 3 juta per bulan — angka yang menunjukkan dampak nyata dan dapat diukur.
-
Australia — Digital Transformation Agency (DTA)
Australia mengambil pendekatan berbeda. DTA merancang kerangka kerja lengkap untuk penerapan AI, mencakup:- kebijakan khusus AI,
- standar teknis,
- klausul kontrak untuk vendor AI,
- pedoman etika dan keamanan,
- hingga integrasi langsung ke marketplace digital pemerintah.
Kebijakan ini terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi. Meski demikian, DTA mengakui bahwa koordinasi internal, terutama keterlibatan tim pengadaan sejak awal, masih menjadi tantangan. Namun secara umum, kerangka ini membantu mencegah pembelian AI yang tidak sesuai.
-
Chile — Badan Digital Nasional
Chile memilih strategi pragmatis: mereka membangun sandbox internal untuk menguji teknologi AI sebelum membeli secara resmi.Dalam sandbox ini, pemerintah bisa:
- memverifikasi klaim vendor,
- mengevaluasi performa AI pada data nyata,
- memahami potensi risiko,
- dan memastikan teknologi tersebut benar-benar layak diterapkan.
Pendekatan ini membuat keputusan pengadaan menjadi lebih terukur dan berbasis bukti.
Mengapa Pendekatan “People First” Sangat Penting dalam Pengadaan AI
AI memang teknologi mutakhir, tetapi pada akhirnya keberhasilannya ditentukan oleh orang—bukan mesin. Karena itu, OCP menekankan pendekatan people first, yaitu memastikan tim yang terlibat dalam pengadaan AI memiliki peran dan koordinasi yang jelas sejak tahap awal.
Berikut peran penting yang harus ada:
-
Pejabat Pengadaan
Mereka bertugas:- menyusun ruang lingkup dan strategi pembelian,
- melakukan penilaian vendor,
- serta mengawasi implementasi kontrak.
Peran ini sangat penting karena kesalahan sejak awal akan berdampak pada seluruh proyek.
-
Pimpinan Proyek (Project Lead)
Mereka berfungsi sebagai jembatan yang memastikan semua tim bergerak selaras. Mulai dari pengumpulan kebutuhan, pemetaan risiko, hingga pemantauan progres implementasi. -
Ahli IT dan Data Science
Mereka membantu pemerintah memahami:- batas kemampuan AI,
- risiko bias algoritma,
- keamanan data,
- integrasi teknis dengan infrastruktur yang sudah ada.
Keahlian mereka menjadi penyeimbang agar pemerintah tidak sepenuhnya bergantung pada narasi penjualan vendor.
-
Tim Legal atau Pejabat Hukum
Karena AI membawa konsekuensi hukum yang kompleks, peran tim hukum sangat penting, terutama dalam hal:- privasi dan penggunaan data sensitif,
- pertanggungjawaban jika terjadi kesalahan AI,
- pembagian hak intelektual,
- klausul kontrak terkait keamanan dan transparansi algoritma.
Risiko Bila Pengadaan AI Tidak Ditangani Secara Serius
Banyak pemerintah di berbagai negara menghadapi tantangan serupa: mereka membeli sistem AI tanpa benar-benar memahami apa yang sedang dibeli, bagaimana cara kerjanya, atau apakah solusi tersebut benar-benar cocok dengan kebutuhan operasional. Ketika keputusan pembelian dilakukan tanpa perencanaan dan evaluasi yang matang, risiko kegagalan meningkat drastis. Dan ketika proyek AI gagal, dampaknya tidak hanya berhenti pada sistem yang tidak berfungsi—konsekuensinya bisa menjalar jauh lebih luas.
Seperti yang ditegaskan oleh Kathrin Frauscher, Deputy Director Open Contracting Partnership (OCP):
“Pengadaan AI yang buruk dapat merugikan pemerintah jutaan dolar, bukan hanya karena proyek gagal, tetapi juga karena hilangnya kepercayaan publik.”
Kerugian finansial memang menjadi perhatian utama. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerusakan reputasi dan menurunnya kepercayaan masyarakat. Ketika publik melihat pemerintah menghabiskan anggaran besar untuk teknologi yang tidak memberi hasil, mereka mulai ragu apakah pemerintah mampu mengelola dana publik secara efisien. Skeptisisme ini bisa memperlambat adopsi digital secara keseluruhan, karena masyarakat akan semakin kritis terhadap proyek teknologi berikutnya.
Bagi pejabat pemerintah, kegagalan proyek AI akan membuat mereka lebih berhati-hati untuk mengambil keputusan inovatif di masa mendatang. Akibatnya, proses transformasi digital bisa berjalan lambat, tertunda, atau berhenti sama sekali.
Di sisi lain, jika pengadaan AI dilakukan dengan pendekatan yang benar, manfaatnya sangat besar dan nyata. Pemerintah dapat:
- memodernisasi layanan publik sehingga lebih cepat, responsif, dan efisien,
- mempercepat proses birokrasi melalui otomatisasi tugas berulang maupun analisis data,
- meningkatkan akurasi pengambilan keputusan berdasarkan data berkualitas tinggi,
- serta menunjukkan bahwa pemerintah mampu mengelola teknologi baru secara bertanggung jawab, aman, dan etis.
Perbedaan antara kegagalan dan keberhasilan dalam adopsi AI terletak pada kualitas proses pengadaannya. Dengan pengadaan yang tepat, pemerintah bukan hanya menghemat anggaran, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk transformasi digital jangka panjang. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa teknologi seperti AI benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
AI Hanya Memberi Manfaat Jika Pemerintah Membelinya dengan Tepat
AI memiliki potensi besar untuk mentransformasi layanan publik. Namun, potensi itu hanya bisa terwujud jika pemerintah:
- memiliki praktik pengadaan yang kuat,
- melibatkan tim lintas fungsi sejak awal,
- memverifikasi klaim vendor,
- dan memastikan adanya standar, aturan, serta mekanisme akuntabilitas yang jelas.
Contoh keberhasilan dari Amerika Serikat, Australia, dan Chile menunjukkan bahwa pengadaan AI yang cermat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga menghasilkan manfaat nyata yang dapat diukur.
Sebaliknya, pengadaan AI tanpa persiapan hanya akan menambah daftar proyek gagal dan membuang dana publik.
