PP Tunas Disahkan untuk Perlindungan Anak di Ruang Digital


Ilustrasi Anak dengan Gadget

Ilustrasi Anak dengan Gadget

Perkembangan teknologi telah membuka akses internet yang begitu luas, termasuk bagi anak-anak dan remaja. Di satu sisi, internet menawarkan peluang belajar, hiburan, dan kreativitas yang tak terbatas. Namun di sisi lain, ruang digital juga menyimpan ancaman serius—mulai dari paparan konten negatif hingga risiko perundungan, penipuan, dan eksploitasi. Melihat kondisi ini, pemerintah Indonesia resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perlindungan Anak di Ruang Digital atau PP Tunas, sebuah payung hukum baru yang dirancang khusus untuk melindungi anak ketika beraktivitas di dunia maya.

Langkah ini tidak hanya berhenti pada regulasi. Pemerintah juga menggandeng berbagai platform digital untuk bekerja sama menciptakan ruang internet yang lebih aman bagi generasi muda.

 
Internet Sudah Jadi Ruang Harian Anak Indonesia

Direktur Penyidikan Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Irawati Tjipto Priyanti, mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen anak dan remaja Indonesia berusia 5–17 tahun sudah aktif mengakses internet. Angka ini menunjukkan bahwa internet bukan lagi fasilitas tambahan—melainkan bagian dari keseharian mereka, baik untuk belajar, bermain gim, maupun bersosialisasi.

Namun tingginya akses internet ini membawa tantangan besar. Menurut Irawati, anak-anak berisiko terpapar konten berbahaya seperti kekerasan, pornografi, perjudian, penipuan, hingga ekstremisme. "Anak-anak bisa terpapar berbagai risiko yang ada di internet, termasuk konten negatif," ujarnya dalam pertemuan di kantor Google Indonesia, Jakarta Selatan (20/11/2025).

 
PP Tunas: Aturan Baru untuk Perlindungan Digital Anak

Dengan disahkannya PP Tunas, pemerintah kini memiliki kerangka hukum yang lebih kuat untuk mengatur ekosistem digital yang aman bagi anak. PP ini mencakup beberapa aspek penting, antara lain:

  • Kewajiban platform digital menjaga keamanan anak, termasuk moderasi konten yang lebih ketat.
  • Klasifikasi konten agar anak hanya dapat mengakses materi yang sesuai usia.
  • Norma ruang digital aman, termasuk batasan fitur, interaksi, dan mekanisme pelaporan.
  • Kewajiban orang tua dan institusi pendidikan dalam membimbing aktivitas digital anak.

Kehadiran PP Tunas menjadi tonggak penting karena mengubah pendekatan perlindungan anak dari sekadar imbauan menjadi kewajiban hukum bagi platform digital.

 
Tantangan: Dinamika Platform yang Bergerak Lebih Cepat

Meski regulasi telah diterbitkan, Irawati mengakui bahwa pengawasan konten di internet tidak pernah mudah. Platform digital bergerak sangat cepat dengan fitur-fitur baru yang terus muncul. “Kami terus terang punya tantangan dalam hal pengawasan konten ini, terutama untuk remaja. Kami sudah buat regulasi, tapi tantangan-tantangan tadi tetap akan ada dan terus berkembang,” tuturnya.

Karena itu, kolaborasi menjadi kata kunci. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian, dan perlu dukungan dari perusahaan teknologi, lembaga pendidikan, dan orang tua.

 
Google dan YouTube Hadirkan Fitur Pendukung Kesehatan Mental Remaja

Sebagai bentuk dukungan, Google dan YouTube meluncurkan beberapa fitur baru yang dirancang untuk membantu menjaga kesehatan mental remaja:

  • Teen Mental Health Shelf
    Sebuah area khusus di YouTube yang memuat video-video kredibel mengenai kesehatan mental dari sumber terpercaya. Fitur ini bertujuan memberi pemahaman yang benar kepada remaja tentang isu mental health, yang sering kali menjadi masalah serius di era digital.

  • Shorts Daily Limit
    Fitur pembatas durasi menonton YouTube Shorts agar remaja tidak terus-menerus terpapar konten video pendek yang adiktif. Dengan pembatasan ini, remaja diharapkan dapat lebih mengontrol kebiasaan digital mereka.
    Irawati memberikan apresiasi pada YouTube karena platform ini memiliki jumlah konten negatif paling sedikit dibanding media sosial lainnya dalam laporan pemantauan Komdigi.

 
Edukasi untuk Guru dan Orang Tua, Bukan Hanya Platform

Selain menggandeng platform digital, Komdigi juga menjalankan berbagai program edukasi lintas lembaga. Fokusnya adalah peningkatan pengetahuan soal risiko digital dan kesehatan mental jangka panjang anak.

Menurut Irawati, peran guru dan orang tua sangat penting. “Delapan jam anak-anak ada di sekolah, jadi edukasi dari guru itu cukup penting, selain edukasi dari orang tua,” jelasnya. Guru diharapkan mampu membantu siswa memahami cara menggunakan internet dengan benar, sementara orang tua perlu mendampingi aktivitas digital anak di rumah.

 
11 Juta Konten Negatif Ditangani Pemerintah Sejak 2016

Dalam laporannya, Komdigi memaparkan skala ancaman digital yang telah ditangani selama hampir satu dekade. Dari 2016 hingga 16 November 2025:

  • Lebih dari 11 juta konten negatif telah ditangani
  • Kategori konten berbahaya meliputi:
    pornografi, perjudian, penipuan online, kekerasan, hingga ekstremisme
  • Sekitar 2,7 juta konten telah dihapus dari platform seperti X, Meta, TikTok, dan lainnya
  • YouTube menjadi platform dengan jumlah konten negatif paling sedikit

Data ini menunjukkan bahwa ancaman digital terhadap anak sangat nyata, sehingga upaya kolaboratif wajib terus diperkuat.

 
Menciptakan Masa Depan Digital yang Lebih Aman untuk Anak

Pengesahan PP Tunas merupakan langkah besar dalam membangun ekosistem digital yang aman, sehat, dan ramah anak. Namun regulasi saja tidak cukup. Keamanan anak di internet adalah tanggung jawab bersama: pemerintah, sekolah, orang tua, hingga platform digital.

Dengan kolaborasi yang lebih kuat dan pemahaman yang semakin baik, generasi muda Indonesia dapat menikmati manfaat internet tanpa harus kehilangan keamanan dan kesejahteraan mereka.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait