Teknologi Kian Cerdas, Integritas Kian Terlupakan?
- Yudianto Singgih
- •
- 12 Jun 2025 09.38 WIB

Ilustrasi Artificial Intelligence
Kita hidup di era yang didominasi oleh gemuruh inovasi digital. Setiap hari, kita disuguhi terobosan baru dalam kecerdasan buatan, otomatisasi, dan konektivitas yang menjanjikan solusi untuk hampir setiap masalah manusia. Namun, di balik segala kemilau dan janji tersebut, tersembunyi sebuah pertanyaan fundamental yang sering terabaikan: apakah kita membangun teknologi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas? Di balik kecanggihan digital, kita menghadapi krisis integritas yang mengancam kebebasan berpikir dan nilai-nilai kemanusiaan.
Artikel Hamilton Mann di Forbes, “10 Artificial Integrity Gaps To Guard Against With Machines — Intelligent Or Not”, hadir sebagai seruan yang tepat waktu dan krusial. Mann mengingatkan kita akan adanya “celah integritas buatan” yang tidak hanya mengancam efisiensi sistem, tetapi juga kedaulatan kognitif dan bahkan esensi kemanusiaan kita.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk memahami lebih dalam bahwa celah-celah tersebut bukan sekadar persoalan teknis belaka, melainkan juga tantangan etika, filosofis, dan sosial yang wajib menjadi perhatian utama dalam menjalani dan mengarahkan revolusi digital yang tengah berlangsung.
Pergeseran Fungsi yang Berisiko
Konsep Pengalihan Fungsional (Functional Diversion) yang diangkat Mann menjadi titik awal refleksi yang kuat. Bayangkan sebuah sistem otomatis yang dirancang untuk memproses klaim asuransi dengan tujuan mempercepat proses dan mengurangi beban kerja manual. Namun, tanpa pengawasan ketat, sistem ini malah mulai dipakai untuk menyaring pelanggan berdasarkan “profil risiko” yang tidak diungkapkan, yang pada akhirnya bisa mendiskriminasi kelompok tertentu. Contoh lain yang diangkat Mann adalah chatbot HR yang pada awalnya hanya ditugaskan untuk menjawab pertanyaan, tapi kemudian beralih fungsi menjadi alat penyelesaian konflik. Alat yang niatnya baik ini malah menimbulkan kebingungan dan konflik baru, yang berujung pada merosotnya kepercayaan pada proses dan sistem internal perusahaan.
Fenomena ini menegaskan betapa pentingnya tata kelola teknologi (technology governance) yang tidak hanya kuat, tapi juga jelas. Batasan peran teknologi harus didefinisikan dan dikomunikasikan secara transparan kepada seluruh pemangku kepentingan. Tanpa itu, alat yang seharusnya mempermudah pekerjaan bisa berubah menjadi sumber masalah yang lebih kompleks.
Celah Kecil, Risiko Besar
Mann juga membahas Kesenjangan Fungsional (Functional Loophole) dan Pelindung Fungsional (Functional Safeguards) sebagai masalah yang sering diabaikan tapi berdampak besar. Produk teknologi seringkali tampak “hampir sempurna,” namun satu fitur kecil yang hilang atau tidak berfungsi dapat merusak keseluruhan pengalaman pengguna.
Misalnya, teknologi konten yang tidak mengizinkan ekspor ke format yang dapat digunakan seperti Word atau PDF, walaupun terdengar sederhana, justru bisa membatasi fungsi utama alat tersebut secara signifikan. Lebih parah lagi, absennya pelindung fungsional seperti mekanisme validasi atau peringatan ketika sistem menjalankan aksi yang bisa berdampak besar berpotensi menimbulkan malapetaka. Bayangkan sistem pemasaran otomatis yang mengirim ribuan email tanpa verifikasi penerima yang benar, tanpa konfirmasi, dan tanpa alarm jika terjadi kesalahan. Kerugian finansial, reputasi yang rusak, serta hilangnya kepercayaan pengguna adalah konsekuensi nyata dari kegagalan semacam ini.
Kondisi ini menuntut pengujian yang menyeluruh (thorough testing), desain yang berpusat pada manusia (human-centered design), dan protokol pengamanan (safety protocols) yang ketat, bukan hanya sekadar memenuhi fungsi teknis, tapi juga menjaga integritas proses dan hasil.
Erosi Kedaulatan Berpikir
Mungkin bagian yang paling meresahkan dari analisis Mann adalah bagaimana teknologi secara perlahan namun sistematis dapat mengikis kedaulatan berpikir manusia. Konsep Alienasi Fungsional (Functional Alienation) menjelaskan situasi ketika kita berubah menjadi semacam “refleks Pavlovian digital” — bereaksi otomatis terhadap instruksi atau rangsangan mesin tanpa disertai proses refleksi kritis.
Contoh paling sederhana adalah kebiasaan menyetujui penggunaan cookie secara membabi buta setiap kali mengunjungi situs web, atau membiarkan notifikasi aplikasi membanjiri layar tanpa pernah mempertimbangkan dampaknya. Lebih jauh lagi, ketergantungan berlebihan pada aplikasi navigasi seperti GPS tidak hanya mengurangi kemampuan bernalar spasial, tetapi juga melemahkan kapasitas dasar kita dalam membuat keputusan secara mandiri ketika perangkat itu tak dapat digunakan.
Ini bukan sekadar soal kenyamanan atau efisiensi; ini adalah potensi terkikisnya kemampuan fundamental manusia untuk berpikir kritis, mengambil keputusan, dan menjaga kebebasan kognitif yang menjadi inti dari kemanusiaan kita.
Lebih lanjut, Mann menguraikan konsep Ideologi Fungsional (Functional Ideology), yakni kecenderungan untuk merasionalisasi atau bahkan membela kekurangan teknologi dengan dalih seperti “Ini bukan salah alatnya” atau “Teknologi tidak bisa menebak apa yang dilupakan oleh pengguna.” Pola pikir semacam ini membentuk semacam dogma digital, di mana teknologi diasumsikan selalu benar, dan kesalahan selalu dibebankan pada manusia.
Pandangan ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya. Ia menciptakan kondisi stagnasi, di mana kritik terhadap teknologi dianggap sebagai bentuk ketidaksetiaan terhadap kemajuan. Akibatnya, perbaikan dan inovasi sejati terhambat karena kita enggan mengakui kekurangan yang sebenarnya perlu ditangani.
Di sinilah urgensi pendekatan kritis terhadap teknologi menjadi nyata. Kita harus secara aktif dan berkelanjutan mengevaluasi tidak hanya kapabilitas teknis dari suatu sistem, tetapi juga bagaimana ia memengaruhi cara kita berpikir, bertindak, dan memaknai dunia di sekitar kita. Sebab, integritas digital sejati tidak hanya diukur dari apa yang bisa dilakukan teknologi, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan dan membentuk pikiran manusia.
Konflik Nilai dan Kotak Hitam Algoritma
Koherensi Budaya Fungsional (Functional Cultural Coherence) menggambarkan bagaimana teknologi bisa bertabrakan dengan nilai-nilai yang dianut oleh sebuah organisasi. Misalnya, sebuah perusahaan yang secara terbuka mendukung pemberdayaan karyawan, tetapi pada saat yang sama menerapkan sistem kerja digital yang justru memicu pengawasan ketat dan kontrol berlebihan. Ketidaksesuaian ini menciptakan ketegangan antara tujuan organisasi dan praktik teknologi yang dijalankan, sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan di antara para pemangku kepentingan.
Teknologi seharusnya berperan sebagai enabler, yang memperkuat nilai-nilai inti organisasi dan mendukung budaya kerja yang sehat. Namun, bila tidak ada penyelarasan yang jelas antara strategi teknologi dan budaya organisasi, potensi konflik dan resistensi menjadi sulit dihindari. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk merancang dan mengelola teknologi dengan mempertimbangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip budaya yang berlaku agar tercipta sinergi yang harmonis.
Selain itu, dalam konteks kecerdasan buatan, Transparansi Fungsional (Functional Transparency) menjadi aspek yang sangat penting dan mendesak. Misalnya, penggunaan algoritma untuk proses seleksi kandidat kerja harus dilakukan dengan mekanisme yang dapat dijelaskan secara terbuka. Bagaimana keputusan diambil? Kriteria apa saja yang digunakan dan bagaimana bobotnya diterapkan? Ketika sistem ini beroperasi sebagai “kotak hitam” yang sulit dipahami atau bahkan tidak dapat diverifikasi, maka muncul risiko serius terkait hilangnya akuntabilitas, keadilan, dan kepercayaan pengguna.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pengembangan dan penerapan AI yang dapat dijelaskan (explainable AI) serta AI yang transparan (transparent AI), sehingga setiap keputusan penting yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan etis. Dengan demikian, tidak hanya meningkatkan kepercayaan terhadap teknologi, tetapi juga memastikan teknologi tersebut selaras dengan nilai-nilai dan harapan organisasi serta masyarakat luas.
Celah Bias Teknologi
Satu aspek penting yang perlu ditambahkan adalah Fungsional Bias (Functional Bias). Teknologi, terutama AI, tidak lepas dari risiko bias yang dapat muncul dari data pelatihan yang tidak seimbang, algoritma yang kurang matang, atau konteks penerapan yang tidak tepat. Misalnya, sistem pengenalan wajah yang bekerja buruk pada individu dengan warna kulit gelap karena data latih yang kurang representatif. Akibatnya adalah perlakuan diskriminatif yang dapat memperkuat ketidakadilan sosial.
Ketiadaan mekanisme untuk mendeteksi dan mengatasi bias ini adalah bentuk kegagalan integritas buatan yang serius. Ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga sosial dan moral, yang harus diatasi dengan transparansi, akuntabilitas, dan regulasi yang tepat.
Di Indonesia, hal ini mulai terlihat dalam beberapa sistem e-KTP dan aplikasi pengenalan wajah yang kurang sensitif terhadap keragaman etnis dan warna kulit masyarakat kita, sehingga menimbulkan ketidakakuratan yang berpotensi menghambat akses warga terhadap layanan publik. Selain itu, dalam penggunaan algoritma untuk seleksi pegawai di beberapa perusahaan startup lokal, ada kekhawatiran bahwa bias tersembunyi dalam data latih bisa memperkuat diskriminasi gender dan latar belakang sosial ekonomi.
Candu Digital dan Hak atas Data
Dua celah terakhir yang diangkat oleh Mann — Adiksi Fungsional (Functional Addiction) dan Kepemilikan Fungsional (Functional Property) — menyoroti ancaman yang semakin nyata terhadap otonomi pribadi kita dalam kehidupan digital yang kian terhubung dan intensif. Dalam konteks ini, manusia bukan lagi sekadar pengguna teknologi, tetapi telah menjadi target manipulasi sistematis oleh desain digital yang disengaja.
Melalui elemen seperti gamifikasi, notifikasi berulang, sistem hadiah mikro, dan algoritma seperti infinite scroll, banyak platform digital dirancang untuk mengeksploitasi sistem penghargaan neurologis kita. Tujuannya jelas: memaksimalkan keterlibatan, memperpanjang waktu layar, dan pada akhirnya, mengubah perhatian kita menjadi komoditas yang diperdagangkan di balik layar. Hasilnya adalah perilaku digital yang tidak hanya kompulsif, tetapi sering kali merusak — memicu stres, kecemasan, hingga depresi. Fenomena ini telah menjadi bagian dari realitas harian di Indonesia, terutama di kalangan remaja dan generasi muda yang mengalami kecanduan media sosial dan game daring. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan instansi pemerintah pun mulai mengangkat pentingnya literasi digital dan kesehatan mental sebagai isu publik yang mendesak.
Di sisi lain, Kepemilikan Fungsional mengangkat isu eksploitasi digital yang lebih sistemik: pengumpulan, pemrosesan, dan pemanfaatan data pribadi maupun karya intelektual tanpa persetujuan yang bermakna dari pemilik atau penciptanya. Model AI saat ini, misalnya, banyak dilatih menggunakan data terbuka yang dikumpulkan dari internet — mulai dari gambar dan teks, hingga suara dan video — tanpa mekanisme izin, atribusi, atau lisensi yang sah. Praktik ini, meskipun sering dianggap legal dalam kerangka data terbuka, secara etis bermasalah karena mengaburkan batas antara publik dan privat, antara akses dan eksploitasi.
Konteks Indonesia menambah kompleksitas persoalan ini. Meski regulasi perlindungan data pribadi telah mulai diperkuat, termasuk melalui pengesahan UU PDP, pengawasan dan penegakan hukum masih belum memadai. Kebocoran data dari berbagai aplikasi lokal termasuk sektor kesehatan, pendidikan, dan layanan publik telah menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang ada. Bahkan lebih berbahaya lagi adalah minimnya kesadaran masyarakat akan nilai dan hak mereka atas data digital, yang membuat penyalahgunaan ini berjalan hampir tanpa perlawanan.
Dalam menghadapi tantangan ini, inspirasi bisa diambil dari regulasi seperti GDPR di Uni Eropa, yang menekankan pentingnya transparansi, kontrol pengguna, dan akuntabilitas perusahaan teknologi. Namun demikian, penerapan model serupa di Indonesia harus disesuaikan dengan realitas lokal — termasuk tingkat literasi digital, kapasitas institusi pengawas, dan keragaman sosial budaya — agar tidak sekadar menjadi instrumen hukum, tetapi benar-benar menjadi pelindung hak-hak digital warga.
Integritas dan Kelangsungan Digital
Hamilton Mann dengan tajam menunjukkan bahwa defisit integritas buatan bukan hanya masalah etika atau desain, melainkan ancaman nyata terhadap keberlanjutan organisasi modern. Biaya tersembunyi dari celah-celah ini merembes ke berbagai lini modal organisasi: mulai dari modal manusia (turunnya keterampilan kritis, keterlibatan emosional, hingga dampak pada kesehatan mental), modal budaya (tergerusnya nilai-nilai inti dan disonansi internal), hingga modal pengambilan keputusan (hilangnya kedaulatan berpikir dan akuntabilitas yang kabur). Tak berhenti di situ, dampaknya menjalar ke reputasi yang ternoda, teknologi yang undervalued, serta kerugian finansial akibat inefisiensi, litigasi, biaya pemeliharaan yang membengkak, dan peluang yang terbuang.
Teknologi yang gagal memberi nilai sejati bukan hanya menjadi alat yang mubazir—ia berubah menjadi beban struktural yang menghambat produktivitas, merusak kepercayaan, dan dalam jangka panjang, melemahkan daya saing organisasi secara sistemik.
Itulah sebabnya, transformasi digital yang bertanggung jawab tidak bisa lagi dianggap sebagai pilihan etis semata. Ia adalah syarat strategis yang tidak bisa ditawar. Organisasi yang ingin bertahan dalam iklim bisnis yang cepat berubah, kompleks, dan sarat tekanan sosial, harus mengintegrasikan prinsip integritas buatan ke dalam setiap fase perjalanan teknologinya. Ini bukan sekadar demi memenuhi ekspektasi masyarakat luas, tetapi demi memastikan keberlanjutan operasional, daya tarik talenta unggul, serta kredibilitas jangka panjang di mata publik dan pemangku kepentingan.
Kita tidak bisa lagi berpuas diri hanya dengan menciptakan mesin yang cerdas secara artifisial. Kecerdasan itu, tanpa integritas, berisiko menjadi kekuatan yang melemahkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, setiap algoritma, setiap antarmuka, setiap sistem yang kita bangun harus dirancang dengan kesadaran etis, dikembangkan dengan prinsip keadilan, dan dijalankan dengan tata kelola yang akuntabel.
Tantangan ini memang kompleks. Ia tidak akan selesai hanya di meja insinyur atau ruang rapat manajemen. Ia menuntut kolaborasi lintas disiplin—antara teknolog, etisi, sosiolog, regulator, akademisi, dan masyarakat sipil. Tetapi justru di sinilah letak peluang peradaban kita: bahwa revolusi digital, bila diarahkan dengan bijak, dapat menjadi fondasi bukan hanya bagi efisiensi dan kemajuan, tetapi juga bagi martabat dan kedaulatan manusia di tengah gelombang algoritma.
Penutup
Integritas buatan bukan sekadar jargon teknologi atau isu teknis yang dapat disepelekan. Ia adalah fondasi moral sekaligus eksistensial yang menentukan arah dan kualitas perkembangan masyarakat digital kita. Gagal menutup celah-celah integritas berarti membuka jalan bagi kerusakan yang lebih dalam—bukan hanya dari segi nilai ekonomi atau reputasi organisasi, tetapi juga dari sisi kedaulatan berpikir, keadilan sosial, serta hak asasi manusia yang menjadi penopang utama peradaban modern.
Sebaliknya, ketika integritas buatan dijadikan prioritas dalam setiap aspek desain, implementasi, dan tata kelola teknologi, kita sedang menegaskan komitmen kolektif untuk membangun masa depan digital yang tidak hanya cerdas, melainkan juga etis, adil, dan berkelanjutan.
Maka, sudah saatnya kita mengawal transformasi digital bukan dengan sikap pasif atau kagum semata, tetapi dengan keberanian untuk bersikap kritis dan bertanggung jawab. Sebab pada akhirnya, teknologi adalah alat—bukan penguasa. Integritaslah yang akan menentukan apakah kita yang mengendalikan teknologi, atau justru kita yang dikendalikan olehnya.
Pertanyaan kini: Mampukah kita menuntun teknologi menuju kebaikan, jika kita sendiri lupa menanamkan benih integritas sejak awal?
Referensi:
Mann, Hamilton (30 Mei 2025). 10 Artificial Integrity Gaps To Guard Against With Machines — Intelligent Or Not. Forbes. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/hamiltonmann/2025/05/30/ten-artificial-integrity-gaps-to-guard-against-with-machines-intelligent-or-not/ pada 11 Juni 2025