Mengenal Cancel Culture dan Dampaknya di Era Media Sosial


Ilustrasi Cancel Culture

Ilustrasi Cancel Culture

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah cancel culture menjadi topik hangat di media sosial dan ruang diskusi publik. Banyak tokoh masyarakat, selebritas, bahkan orang biasa, pernah menjadi korban atau pelaku dalam fenomena ini. Tidak hanya sekadar tren, cancel culture telah menjelma menjadi kekuatan sosial yang bisa mengangkat atau meruntuhkan reputasi seseorang dalam sekejap.

Tetapi, sebenarnya apa itu cancel culture? Mengapa fenomena ini bisa muncul dan menjadi begitu kuat di era digital seperti sekarang? Apa saja dampak yang ditimbulkan bagi individu maupun masyarakat secara luas?

Artikel ini akan mengulas mengenai pengertian cancel culture, sejarah dan kemunculannya, dampak positif dan negatifnya, serta bagaimana kita sebagai masyarakat seharusnya menyikapi fenomena ini dengan lebih bijak.

 

Apa Itu Cancel Culture?

Secara harfiah, cancel culture berasal dari kata cancel (membatalkan) dan culture (budaya), yang jika digabungkan berarti "budaya membatalkan". Namun, pengertian sebenarnya lebih luas dan kompleks daripada arti harfiah tersebut.

Cancel culture merujuk pada tindakan kolektif masyarakat, khususnya netizen, yang memboikot, mengkritik keras, atau mengucilkan seseorang atau kelompok karena dianggap melakukan tindakan, ucapan, atau perilaku yang menyimpang, tidak etis, ofensif, atau bertentangan dengan nilai-nilai sosial yang berlaku.

Target cancel culture bisa siapa saja — selebritas, tokoh politik, influencer, perusahaan, bahkan orang biasa — yang dianggap bersalah karena satu atau beberapa tindakan kontroversial. Ketika seseorang “di-cancel”, mereka dapat kehilangan pengikut, kontrak kerja, sponsor, hingga pekerjaan atau relasi sosial. Lebih dari sekadar kritik, cancel culture sering kali dilakukan dengan intensitas yang tinggi dan berujung pada tekanan sosial masif.

 

Asal Usul dan Evolusi Cancel Culture

Fenomena cancel culture bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Dalam sejarah, boikot terhadap tokoh atau institusi karena alasan moral atau ideologi sudah lama terjadi. Namun, kemunculan media sosial mempercepat dan memperluas dampaknya.

Menurut laporan dari New York Times, istilah cancel culture memiliki akar dari bahasa gaul Tiongkok, yaitu renrou sousuo, yang secara harfiah berarti "perburuan daging manusia", digunakan untuk menggambarkan upaya netizen dalam mencari dan mengekspos data pribadi seseorang yang dianggap bermasalah. Awalnya, ini hanya digunakan dalam komunitas fandom untuk mencari informasi tentang idola mereka. Namun, seiring waktu, aktivitas ini berkembang menjadi ajang ekspos terhadap orang yang melakukan kesalahan moral atau sosial.

Di Amerika Serikat, fenomena ini kemudian dikenal sebagai cancel culture. Konsep ini mendapatkan perhatian luas sejak sekitar tahun 2017, ketika selebriti dan figur publik mulai menjadi sasaran boikot akibat komentar atau tindakan mereka yang dianggap tidak pantas. Dalam waktu singkat, cancel culture berkembang pesat menjadi gerakan sosial yang bisa menumbangkan reputasi siapa saja hanya dalam hitungan jam.

 

Alasan di Balik Cancel Culture

Ada beberapa alasan mengapa cancel culture menjadi sangat populer, di antaranya:

  • Meningkatnya Kesadaran Sosial
    Masyarakat kini semakin sadar akan isu-isu sosial seperti rasisme, seksisme, homofobia, ketidakadilan, dan kekerasan. Cancel culture sering dianggap sebagai bentuk kontrol sosial untuk menegakkan keadilan dan akuntabilitas publik.

  • Kekuatan Media Sosial
    Platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok memberi ruang bagi publik untuk menyuarakan pendapat secara langsung, membagikan informasi secara viral, dan mengorganisir gerakan digital dalam waktu singkat.

  • Ketidakseimbangan Kekuatan Tradisional
    Cancel culture muncul sebagai reaksi terhadap sistem hukum atau norma sosial yang dianggap tidak adil atau tidak efektif dalam menghukum pelanggaran. Dengan budaya ini, masyarakat merasa memiliki kekuatan untuk "mengadili" mereka yang biasanya kebal terhadap hukum atau opini publik.

  • Respons terhadap Ketidakterbukaan Tokoh Publik
    Banyak tokoh publik yang dinilai tidak cukup meminta maaf atau bertanggung jawab atas kesalahan mereka, sehingga masyarakat mengambil alih proses koreksi sosial melalui cancel culture.

 

Dampak Positif Cancel Culture

Meski sering dianggap kontroversial, cancel culture juga memiliki dampak positif, terutama dalam mendorong perubahan sosial yang lebih adil. Berikut beberapa manfaat yang bisa ditinjau:

  1. Mendorong Akuntabilitas
    Cancel culture bisa memaksa tokoh publik, perusahaan, atau institusi untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertutur. Mereka dituntut untuk mempertimbangkan nilai moral dan etika, serta tidak bisa lagi sembarangan bertindak tanpa mempertanggungjawabkannya di hadapan publik.

  2. Memberi Suara pada Kaum Marginal
    Kelompok yang selama ini terpinggirkan seperti minoritas ras, gender, atau orientasi seksual kini memiliki platform untuk menyuarakan ketidakadilan dan mencari keadilan. Cancel culture menjadi alat untuk memperjuangkan kesetaraan dan inklusivitas.

  3. Menekan Tindakan Diskriminatif
    Sebagai contoh, pada tahun 2016, komunitas film memboikot ajang Oscar karena kurangnya keberagaman dalam nominasi. Aksi tersebut berdampak positif karena pada tahun 2019, Oscar mencatat rekor jumlah nominasi dari sutradara kulit hitam terbanyak dalam sejarah.

  4. Menjadi Alarm Sosial
    Cancel culture dapat menjadi peringatan bagi masyarakat secara luas bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Hal ini menumbuhkan kehati-hatian dan tanggung jawab sosial dalam menggunakan media sosial dan mengekspresikan pendapat.

 

Dampak Negatif Cancel Culture

Di sisi lain, cancel culture juga mengandung sejumlah risiko serius yang perlu disoroti:

  1. Menimbulkan Trauma dan Gangguan Mental
    Orang yang menjadi korban cancel culture bisa mengalami tekanan mental yang berat, seperti kecemasan, depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri. Mereka merasa dikucilkan, dihakimi secara massal, dan kehilangan ruang untuk memperbaiki diri.

  2. Kurangnya Proses Klarifikasi dan Dialog
    Cancel culture sering kali bersifat sepihak dan tidak memberi kesempatan kepada individu untuk menjelaskan atau mengklarifikasi. Dalam banyak kasus, opini publik sudah terlanjur terbentuk sebelum fakta-fakta yang lengkap terungkap.

  3. Risiko Penyalahgunaan
    Budaya pembatalan bisa digunakan untuk kepentingan pribadi atau politik, seperti menjatuhkan lawan, memfitnah, atau menciptakan kegaduhan tanpa dasar. Akibatnya, kebenaran menjadi kabur dan reputasi seseorang bisa hancur hanya karena salah paham.

  4. Meningkatkan Polarisasi Sosial
    Alih-alih menciptakan ruang diskusi yang sehat, cancel culture justru memperparah polarisasi. Ketika satu pihak menyerang dan pihak lain membela, maka terjadi perpecahan sosial yang tidak produktif.

 

Contoh Kasus Cancel Culture

Beberapa contoh cancel culture yang terjadi di dunia nyata antara lain:

  1. J.K. Rowling – Pernyataan Kontroversial soal Transgender
    Penulis serial Harry Potter, J.K. Rowling, menjadi target cancel culture setelah cuitannya pada tahun 2020 yang dianggap transfobik. Dalam cuitannya, Rowling menyindir penggunaan istilah "people who menstruate" sebagai pengganti kata "women" oleh sebagian kalangan yang mendukung inklusivitas gender.

    Dampaknya:

    • Muncul tagar #CancelJKRowling.
    • Aktor dari film Harry Potter, seperti Daniel Radcliffe dan Emma Watson, secara terbuka menentang pandangan Rowling.
    • Buku dan karyanya diboikot oleh sebagian komunitas LGBTQ+ dan sekutunya.
  2. Kevin Hart – Cuitan Lama yang Menghalangi Oscar
    Komika dan aktor Kevin Hart sempat diumumkan sebagai pembawa acara Oscar 2019. Namun, beberapa cuitan lamanya yang dianggap homofobik kembali viral, sehingga publik mendesak agar ia dibatalkan dari peran tersebut.

    Dampaknya:

    • Hart mundur sebagai host Oscar dan menyampaikan permintaan maaf.
    • Muncul perdebatan tentang pentingnya konteks waktu dan kesempatan untuk berubah.
  3. Ellen DeGeneres – Lingkungan Kerja yang "Beracun"
    Presenter ternama Ellen DeGeneres mengalami badai cancel culture pada tahun 2020 setelah mantan staf acara The Ellen Show mengungkapkan adanya budaya kerja yang toxic, termasuk intimidasi, diskriminasi, dan pelecehan.

    Dampaknya:

    • Penurunan drastis rating acara.
    • Kritik keras di media sosial.
    • Akhirnya, Ellen mengumumkan bahwa acara akan dihentikan pada 2022.
  4. Shane Dawson – Konten Lama yang Menyinggung
    Youtuber Shane Dawson menjadi sasaran cancel culture setelah video-video lamanya yang mengandung rasisme, seksualisasi anak, dan humor ofensif kembali muncul ke publik.

    Dampaknya:

    • Channel monetisasi YouTube-nya dibekukan.
    • Ia kehilangan jutaan pelanggan.
    • Produk kolaborasinya dengan Jeffree Star dan toko-toko kosmetik ditarik.
  5. Gina Carano – Komentar Politik dan Sosial yang Menyulut Amarah
    Aktris The Mandalorian, Gina Carano, dicancel setelah membuat postingan yang membandingkan situasi politik konservatif dengan perlakuan terhadap Yahudi di era Nazi. Ia juga membuat unggahan anti-mask dan menolak penggunaan kata ganti netral gender.

    Dampaknya:

    • Lucasfilm dan Disney memutuskan kontraknya.
    • Tagar #FireGinaCarano sempat viral.
    • Ia kehilangan peran dan kesempatan dalam proyek-proyek besar Disney.

 

Bagaimana Menyikapi Cancel Culture?

Fenomena cancel culture memang rumit. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi alat penghancur tanpa ampun. Untuk itu, penting bagi kita menyikapinya dengan bijak:

  • Pahami Konteks dan Data
    Jangan mudah ikut-ikutan dalam cancel culture hanya karena emosi sesaat. Telusuri dulu fakta dan konteksnya secara menyeluruh.
  • Berikan Kesempatan untuk Klarifikasi
    Biarkan individu atau kelompok yang bersangkutan menyampaikan klarifikasi atau permintaan maaf. Ingat bahwa semua orang bisa melakukan kesalahan, dan banyak dari mereka yang bersedia berubah.
  • Fokus pada Edukasi, Bukan Hanya Hukuman
    Tujuan dari kritik seharusnya adalah mendorong perubahan dan pembelajaran, bukan semata-mata menghukum.
  • Jaga Etika Berinternet
    Selalu ingat bahwa di balik layar ada manusia dengan perasaan dan kehidupan nyata. Gunakan media sosial dengan empati dan tanggung jawab.

 

Kesimpulan

Cancel culture adalah fenomena sosial yang merefleksikan kekuatan publik dalam era digital untuk menuntut akuntabilitas dan keadilan. Meskipun bisa mendorong perubahan sosial yang positif, cancel culture juga memiliki sisi gelap yang bisa merusak kehidupan seseorang tanpa kesempatan untuk memperbaiki diri.

Alih-alih membatalkan seseorang secara permanen, mungkin sudah saatnya kita mengedepankan budaya call-in daripada call-out — yaitu mengajak orang berdialog dan belajar bersama, bukan hanya menghakimi. Sebab, pada akhirnya, masyarakat yang sehat bukanlah masyarakat yang saling menjatuhkan, melainkan yang saling mengingatkan dan tumbuh bersama.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait