Backup Tak Lagi Cukup: Saatnya Bangun Ketahanan Siber
- Rita Puspita Sari
- •
- 19 jam yang lalu

Ilustrasi Cyber Resilience
Di era digital seperti sekarang, risiko gangguan dan kegagalan sistem teknologi informasi (TI) semakin sering terjadi. Gangguan ini bukan hanya berasal dari faktor teknis seperti kerusakan perangkat keras atau kesalahan manusia, tetapi juga dari serangan siber yang makin kompleks. Di tengah ancaman seperti ransomware dan pelanggaran data, pencadangan data (backup) tradisional tidak lagi cukup. Perusahaan, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), kini dituntut untuk menerapkan strategi yang lebih holistik: ketahanan siber (cyber resilience).
Artikel ini akan membahas secara mengapa backup tradisional tidak lagi cukup, bagaimana ketahanan siber bekerja, serta langkah-langkah penting yang harus dilakukan perusahaan untuk menjaga kelangsungan operasional mereka saat serangan terjadi.
Perubahan Paradigma: Dari Backup ke Ketahanan Siber
Pencadangan data selama ini menjadi andalan perusahaan untuk menghadapi kehilangan data akibat berbagai insiden. Namun, seiring berkembangnya ancaman digital, pendekatan ini sudah tidak lagi memadai.
Saat ini, kejahatan siber telah menjadi industri tersendiri. Fenomena Ransomware-as-a-Service (RaaS) memungkinkan siapa saja, bahkan tanpa keahlian teknis, untuk meluncurkan serangan siber yang masif. Serangan tidak hanya mengenkripsi data tetapi juga mencuri informasi sensitif, menghapus backup, hingga mematikan infrastruktur pemulihan.
Artinya, sistem pencadangan yang dulu kita andalkan kini justru menjadi target utama serangan. Maka, dibutuhkan pendekatan baru yang lebih kuat, lebih adaptif, dan fokus pada menjaga operasional bisnis tetap berjalan, bukan sekadar mengembalikan data.
Ancaman Nyata Bagi UKM
UKM adalah pihak yang paling rentan terhadap dampak serangan siber. Mengapa? Karena mereka:
- Tidak memiliki sistem keamanan sekuat perusahaan besar.
- Jarang melakukan pengujian pemulihan data secara rutin.
- Memiliki sumber daya TI yang terbatas.
Dampaknya bisa sangat fatal. Sebagai ilustrasi, sebuah UKM dengan pendapatan $10 juta per tahun bisa kehilangan lebih dari $55.000 (sekitar Rp890 juta) hanya dalam satu hari gangguan. Belum lagi dampak jangka panjang seperti hilangnya kepercayaan pelanggan, rusaknya reputasi merek, dan sanksi kepatuhan.
Di sektor-sektor seperti keuangan dan kesehatan, tekanan makin tinggi karena harus mematuhi regulasi yang ketat. Belum lagi syarat dari penyedia asuransi siber yang makin kompleks. Semua ini memperjelas satu hal: backup saja tidak cukup lagi.
Mengapa Backup Tradisional Sudah Tidak Relevan?
Dulu, sistem backup dilakukan dengan cara:
- Mengambil snapshot data secara berkala.
- Menentukan Recovery Time Objective (RTO) dan Recovery Point Objective (RPO).
- Melakukan replikasi ke lokasi lain.
- Sesekali menguji kemampuan pemulihan.
Pendekatan ini cukup efektif saat gangguan hanya disebabkan oleh kerusakan teknis atau kesalahan pengguna. Tapi kini, para penjahat siber dengan sengaja menargetkan sistem backup dan pemulihan itu sendiri.
Serangan modern melibatkan taktik berlapis, seperti:
- Mengenkripsi data.
- Mencuri dan menyebarkan data untuk memeras korban.
- Menghapus backup, termasuk di cloud, menggunakan kredensial admin yang berhasil dicuri.
- Mengganggu supply chain sehingga satu serangan bisa merugikan banyak organisasi sekaligus.
Backup bukan lagi "asuransi" yang bisa diandalkan. Tanpa sistem pemulihan yang kuat dan strategi antisipasi yang matang, bisnis tetap rentan lumpuh.
Pertanyaan Kritis yang Harus Diajukan Pemimpin TI
Pemimpin TI perlu mengevaluasi kesiapan organisasi dalam menghadapi ancaman ini. Beberapa pertanyaan mendasar:
- Apakah vendor dan mitra bisnis memiliki standar ketahanan siber yang setara?
- Apakah kontrak kerja mencakup kewajiban backup dan pemulihan bencana dengan standar yang jelas (seperti HITRUST di sektor kesehatan)?
- Apakah direksi sadar bahwa data perusahaan bisa sepenuhnya terenkripsi oleh ransomware?
- Apakah kita siap membangun ulang infrastruktur selama berhari-hari untuk bisa kembali operasional?
- Apakah proses pemulihan telah diuji dan bisa berjalan dalam tenggat waktu yang telah disepakati dengan auditor dan penyedia asuransi?
Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah "tidak", berarti saatnya mengubah pendekatan.
Memahami Ketahanan Siber: Bukan Hanya Pulihkan, Tapi Bertahan
Ketahanan siber (cyber resilience) adalah pendekatan menyeluruh untuk memastikan bisnis tetap berjalan bahkan saat serangan terjadi.
Berbeda dengan backup biasa yang hanya fokus pada pemulihan data, ketahanan siber fokus pada:
- Mencegah gangguan,
- Meminimalkan dampaknya, dan
- Memulihkan operasional secepat mungkin.
Beberapa elemen penting dari strategi ketahanan siber antara lain:
- Immutable Backup (Cadangan Tak Bisa Diubah)
Cadangan data harus disimpan dalam bentuk yang tidak bisa dimodifikasi atau dihapus, bahkan jika akun admin diretas. Ini biasanya dilakukan dengan menyimpan backup di cloud dengan teknologi immutable storage. - Pengujian Pemulihan Otomatis
Backup tanpa pengujian adalah asumsi. Maka, sistem pemulihan harus diuji secara berkala dan otomatis, untuk memastikan bahwa dalam keadaan darurat, proses pemulihan bisa dijalankan dengan cepat dan akurat. - Recovery Playbook
Setiap organisasi butuh panduan pemulihan yang sistematis dan lengkap. Tidak hanya sekadar mengembalikan file, tetapi juga membangun ulang layanan, aplikasi, dan infrastruktur. Teknologi seperti Disaster Recovery-as-a-Service (DRaaS) bisa mempercepat proses ini.
Menimbang Anggaran vs Risiko
Salah satu alasan utama perusahaan enggan berinvestasi dalam ketahanan siber adalah biaya. Namun, pertimbangan yang lebih penting adalah: berapa biaya yang harus ditanggung jika operasional lumpuh?
Bandingkan skenario berikut:
- Investasi dalam teknologi DRaaS dan backup canggih, atau
- Kehilangan pendapatan selama seminggu, kegagalan menggaji karyawan, dan kerugian reputasi yang tak ternilai?
Dalam banyak kasus, kerugian akibat serangan siber jauh lebih besar dibanding investasi pencegahannya.
Ketahanan Siber adalah Tanggung Jawab Bersama
Ketahanan siber bukan hanya tanggung jawab tim TI. Ini adalah isu strategis yang menyangkut seluruh organisasi:
- Direksi harus memahami risiko bisnis dan mendukung inisiatif keamanan.
- Divisi hukum dan kepatuhan harus memastikan semua kontrak dan regulasi dipatuhi.
- Karyawan perlu dilatih untuk mengenali dan mencegah ancaman seperti phishing.
- Organisasi yang sukses dalam membangun ketahanan siber adalah mereka yang menggabungkan teknologi, proses, dan kesadaran budaya keamanan.
Strategi Ketahanan Siber yang Mengutamakan Operasional Bisnis
Ketahanan siber bukan sekadar kemampuan untuk memulihkan data, tetapi tentang memastikan bahwa bisnis tetap dapat berjalan, memberikan layanan kepada pelanggan, dan menjaga kepercayaan publik saat terjadi insiden siber.
Berikut ini adalah panduan lengkap dan terstruktur mengenai bagaimana organisasi bisa membangun strategi ketahanan siber yang mengutamakan operasional bisnis (resilience-first).
-
Mulai dengan Analisis Dampak Bisnis (Business Impact Analysis)
Langkah pertama yang krusial adalah melakukan Business Impact Analysis (BIA). Tujuan dari analisis ini adalah untuk memahami sistem mana saja yang benar-benar vital bagi operasional perusahaan.Beberapa sistem yang biasanya dianggap sangat penting antara lain:
- ERP (Enterprise Resource Planning): sistem yang mengelola sumber daya internal seperti keuangan, logistik, dan produksi.
- CRM (Customer Relationship Management): untuk mengelola hubungan dan pengalaman pelanggan.
- Platform e-commerce: yang langsung berpengaruh pada penjualan dan pendapatan.
- Sistem penjadwalan dan operasional lainnya: terutama untuk bisnis retail, layanan publik, dan manufaktur.
Tanyakan pada diri sendiri:
- Sistem mana yang berdampak langsung pada pendapatan atau layanan pelanggan?
- Berapa biaya yang harus ditanggung jika sistem tersebut down selama 1 jam, 4 jam, atau 1 hari?
- Layanan bisnis apa yang harus tetap berjalan agar tidak menimbulkan gangguan beruntun?
Fokus pada layanan inti ini akan menjadi landasan dalam membentuk prioritas pemulihan dan ketahanan.
-
Bangun Pertahanan Berlapis pada Infrastruktur Pemulihan
Sistem pemulihan dan backup harus dianggap sebagai prioritas utama, bahkan bisa jadi lebih penting dari sistem produksi itu sendiri.Langkah-langkah strategis yang perlu diambil:
- Gunakan otentikasi multifaktor (MFA) dan kredensial admin yang terpisah khusus untuk sistem backup.
- Pilih solusi backup yang mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan seperti ransomware secara dini.
- Terapkan immutable backup (cadangan yang tidak dapat diubah), dan simpan di lokasi terpisah, misalnya di cloud untuk mengantisipasi bencana fisik atau serangan siber.
Dengan pendekatan ini, backup tidak hanya menjadi data pasif yang disimpan, tetapi menjadi bagian aktif dari strategi pertahanan siber.
-
Otomatiskan Pengujian dan Verifikasi Backup
Satu hal yang sering diabaikan: backup yang tidak pernah diuji sama saja seperti tidak memiliki backup.Organisasi perlu:
- Mengotomatisasi pengujian backup untuk memastikan data dapat dipulihkan dan tidak korup.
- Melakukan simulasi pemulihan total secara berkala dengan menggunakan
- Disaster Recovery Runbook: panduan pemulihan yang sudah terorkestrasi dari awal hingga akhir.
Tujuannya adalah membangun kepercayaan diri berbasis data nyata, bukan sekadar asumsi. Saat krisis datang, organisasi tidak punya waktu untuk coba-coba.
-
Susun dan Dokumentasikan Recovery Playbook (Panduan Pemulihan)
Strategi pemulihan harus terdokumentasi dengan baik dan mudah dimengerti oleh setiap orang yang terlibat.Elemen penting dalam Recovery Playbook:
- Langkah demi langkah proses pemulihan.
- Penugasan peran dan tanggung jawab, seperti siapa yang mengaktifkan sistem, siapa yang mengomunikasikan ke pelanggan, dan siapa yang berkoordinasi dengan vendor.
- Urutan sistem mana yang dipulihkan terlebih dahulu dan di lokasi mana.
Selain tim teknis, tim non-teknis juga harus diberi pelatihan. Misalnya, bagaimana staf toko menghadapi pelanggan saat sistem Point of Sale (POS) mengalami gangguan?
Jangan lupakan pentingnya komunikasi saat krisis. Siapkan:
- Protokol komunikasi internal dan eksternal
- Tim PR dan pimpinan eksekutif dengan arahan yang jelas.
Diam atau bingung saat krisis bisa menyebabkan kerusakan reputasi yang lebih besar daripada insiden itu sendiri.
-
Siapkan “Resilience Scorecard” untuk Direksi
Para pimpinan TI perlu berbicara dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh dewan direksi dan manajemen puncak.Gunakan “Resilience Scorecard” yang mencakup:
- Estimasi waktu pemulihan untuk sistem-sistem penting.
- Tanggal terakhir uji pemulihan yang berhasil.
- Ringkasan hasil pengujian dan tindakan perbaikan yang telah dilakukan.
Scorecard ini berfungsi sebagai dokumen strategis yang bisa dibawa ke:
- Rapat dewan direksi,
- Auditor kepatuhan,
- Pihak asuransi siber.
Hasilnya? Kredibilitas strategis yang jauh lebih tinggi dibandingkan laporan teknis biasa.
-
Siap untuk Audit dan Asuransi Siber
Penyedia asuransi siber saat ini tidak akan serta-merta memberi perlindungan kecuali ada bukti kesiapan menghadapi insiden. Pertanyaan yang biasanya diajukan meliputi:- Apakah backup Anda bersifat immutable?
- Seberapa sering Anda melakukan pengujian backup?
- Apakah infrastruktur backup terisolasi dari sistem produksi?
- Apakah sistem cloud Anda juga dicadangkan secara terpisah?
- Apa RTO (Recovery Time Objective) dan RPO (Recovery Point Objective) yang realistis?
Diskusi ini juga bisa dijadikan dasar komunikasi dengan Chief Financial Officer (CFO): investasi dalam ketahanan bukan hanya untuk menanggulangi risiko, tetapi juga meningkatkan ROI melalui premi asuransi yang lebih rendah dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
-
Platform Modern Seperti Datto sebagai Pendukung Ketahanan
Strategi resilience-first tidak harus rumit. Platform terpadu seperti Datto menyederhanakan proses ini sekaligus memperkuat keamanan organisasi.Keunggulan Datto:
- Mengelola cadangan lokal, cloud, dan immutable dalam satu platform.
- Mendukung verifikasi otomatis dan pemulihan yang sudah terorkestrasi.
- Menyediakan laporan siap audit, lengkap dengan log, tangkapan layar, dan dokumentasi lainnya.
Bagi tim TI, ini berarti:
- Lebih sedikit vendor yang perlu dikelola,
- Transparansi penuh kepada direksi dan auditor,
- Kepercayaan diri yang tinggi dalam menghadapi insiden besar.
-
Pahami Bahwa Backup Bukan Sekadar Penyimpanan Data
Terakhir, penting untuk memahami bahwa backup bukanlah tujuan akhir. Backup hanyalah bagian dari strategi besar: ketahanan operasional yang berkelanjutan.Tanyakan pada organisasi Anda sendiri:
- Apakah backup Anda benar-benar tidak bisa diubah?
- Apakah proses pemulihan sudah diuji secara rutin?
- Apakah Anda memiliki dokumentasi pemulihan yang jelas?
Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini masih belum yakin, maka inilah waktunya melakukan evaluasi mendalam sebelum gangguan yang tidak terduga datang menguji sistem Anda secara langsung.
Kesimpulan: Bergerak dari Reaktif ke Proaktif
Dunia digital telah berubah. Backup tradisional tidak lagi cukup untuk melindungi perusahaan dari ancaman siber yang makin canggih. Organisasi perlu bertransformasi dari strategi yang reaktif menjadi proaktif, dengan ketahanan siber sebagai fondasi utamanya.
Dengan menerapkan cadangan tak dapat diubah, pengujian pemulihan otomatis, dan panduan pemulihan terstruktur, perusahaan dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya mampu bertahan dalam krisis, tetapi juga terus menjalankan layanan kepada pelanggan, menjaga reputasi, dan melindungi aset penting mereka.
Ingat, serangan bisa terjadi kapan saja. Tapi dengan ketahanan siber, bisnis Anda tidak harus berhenti.