Nayara vs Microsoft: Dampak Sanksi UE Guncang Minyak & Teknologi


Gedung Microsoft

Gedung Microsoft

Perusahaan penyulingan minyak raksasa asal India, Nayara Energy, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh entitas Rusia, tengah menjadi sorotan global. Sejak diberlakukannya sanksi baru Uni Eropa (UE) terhadap Rusia pada 18 Juli 2025, Nayara tidak hanya menghadapi hambatan ekspor dan gangguan operasional, tetapi juga perseteruan hukum dengan raksasa teknologi Amerika Serikat, Microsoft.

Kasus ini mencerminkan bagaimana sanksi internasional yang menargetkan sektor energi Rusia berdampak luas, mulai dari rantai pasok minyak global hingga akses teknologi yang vital bagi keberlangsungan bisnis.

 

Sanksi Uni Eropa dan Dampaknya ke Nayara Energy

Uni Eropa, dalam paket sanksi terbarunya, menargetkan berbagai entitas yang dianggap berkontribusi pada pembiayaan perang Rusia di Ukraina. Nayara Energy, sebagai salah satu pembeli terbesar minyak mentah Rusia yang diangkut lewat laut dan mayoritas sahamnya dimiliki oleh Rosneft – perusahaan minyak raksasa Rusia – turut masuk dalam daftar tersebut.

Kilang utama Nayara di Vadinar, Gujarat, memiliki kapasitas pengolahan 400.000 barel per hari atau hampir 8% dari total kapasitas penyulingan India. Selama ini, kilang tersebut biasanya beroperasi di atas 100% kapasitas dalam tiga bulan hingga Juni 2025. Namun, sejak sanksi diberlakukan, operasional harus dipangkas menjadi sekitar 70–80% kapasitas.

Kendala utama muncul karena pedagang internasional menjadi lebih berhati-hati bertransaksi, sehingga ekspor produk olahan seperti solar, bensin, bahan bakar jet, dan nafta terhambat. Bahkan, setidaknya dua kapal tanker gagal memuat produk olahan dari Vadinar, sementara sebuah kapal tanker pembawa minyak mentah Ural dari Rusia terpaksa dialihkan ke pelabuhan lain di India barat.

 

Microsoft Hentikan Layanan Secara Mendadak

Di tengah tekanan tersebut, Nayara Energy kembali mendapat pukulan berat ketika Microsoft secara tiba-tiba menghentikan layanan digitalnya pada 23 Juli 2025. Menurut sumber internal, layanan seperti Outlook dan Microsoft Teams yang digunakan oleh karyawan Nayara berhenti berfungsi, memutus komunikasi internal dan menghambat aktivitas operasional harian.

Melansir dari Reuters.com, Nayara mengklaim bahwa pemutusan layanan ini dilakukan secara sepihak, tanpa pemberitahuan atau konsultasi sebelumnya. “Microsoft saat ini membatasi akses Nayara Energy ke data, perangkat, dan produk miliknya sendiri — meskipun semua itu telah dibayar penuh,” tegas Nayara dalam pernyataan resminya.

Pemutusan ini diyakini terkait kepatuhan Microsoft terhadap sanksi Uni Eropa. Namun, Nayara menilai langkah tersebut berlebihan dan merugikan, apalagi perusahaan sedang berusaha mempertahankan operasional di tengah tekanan global.

 

Langkah Hukum ke Pengadilan Tinggi Delhi

Merasa dirugikan, Nayara segera mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi Delhi. Tujuannya jelas: meminta perintah sementara agar Microsoft memulihkan layanannya demi melindungi hak perusahaan dan memastikan akses berkelanjutan ke infrastruktur digital penting.

Dalam gugatan tersebut, Nayara menekankan bahwa penghentian layanan tanpa solusi alternatif telah mengganggu operasi perusahaan, terutama karena komunikasi internal dan pengelolaan data menjadi lumpuh.

Selama layanan Microsoft terhenti, Nayara bahkan terpaksa beralih menggunakan penyedia layanan email lokal, Rediff.com, untuk memastikan komunikasi antarpegawai tetap berjalan.

 

Microsoft Akhirnya Memulihkan Layanan

Setelah beberapa hari ketegangan, pada 30 Juli 2025 pengacara Nayara mengumumkan di pengadilan bahwa Microsoft telah memulihkan layanan digital perusahaan. Microsoft sendiri mengonfirmasi pemulihan tersebut dan menyatakan bahwa mereka sedang berdiskusi dengan Uni Eropa mengenai keberlanjutan layanan bagi Nayara.

"Kami sedang terlibat dalam diskusi berkelanjutan dengan Uni Eropa terkait kesinambungan layanan bagi organisasi tersebut," tambah Microsoft.

Meskipun masalah teknis terselesaikan, kasus ini meninggalkan pertanyaan besar tentang bagaimana perusahaan multinasional harus menyeimbangkan kepatuhan terhadap sanksi internasional dengan kewajiban kontrak kepada kliennya.

 

Pergantian Pimpinan

Dampak sanksi Uni Eropa terhadap Nayara tidak hanya sebatas operasional dan hubungan dengan mitra teknologi. Pada 25 Juli 2025, CEO Nayara, Alessandro des Dorides, resmi mengundurkan diri. Dorides, yang baru menjabat sejak April 2024, sebelumnya dikenal sebagai veteran industri energi dengan pengalaman di perusahaan besar Italia, Eni.

Dewan direksi Nayara menunjuk Sergey Denisov — yang telah bergabung sejak 2017 sebagai Kepala Pengembangan — untuk mengambil alih posisi CEO. Pergantian ini terjadi di tengah gejolak bisnis yang memerlukan kepemimpinan tangguh dan strategi adaptif.

 

Kritik Terhadap Sanksi Uni Eropa

Nayara secara terbuka mengecam keputusan Uni Eropa yang dianggap “tidak adil dan sepihak.” Menurut perusahaan, mereka menjalankan bisnis yang sah di India dan telah mematuhi seluruh peraturan domestik.

Sikap serupa juga disuarakan oleh pemerintah India yang mengkritik kebijakan UE, mengingat India merupakan salah satu importir utama minyak mentah Rusia pasca invasi Ukraina. Bagi India, kerja sama energi dengan Rusia adalah bagian penting dari strategi ketahanan energi nasional.

Rosneft, pemegang 49,13% saham Nayara, turut menilai sanksi tersebut tidak dapat dibenarkan dan ilegal.

 

Fakta Penting tentang Nayara Energy

  • Lokasi & Kapasitas: Mengoperasikan kilang terbesar ketiga di India di Vadinar, Gujarat, dengan kapasitas 400.000 barel per hari.
  • Pasar Ekspor: Menjual sekitar empat juta barel produk olahan setiap bulan ke pasar internasional.
  • Jaringan Domestik: Memiliki lebih dari 6.600 gerai bahan bakar di seluruh India.
  • Pemegang Saham Utama: Rosneft Rusia (49,13%) dan Kesani Enterprises Co Ltd (49,13%) yang dipimpin Mareterra Group Italia dan United Capital Partners Rusia.

Kasus Nayara Energy mencerminkan kompleksitas rantai pasok energi global yang kini kerap tersandung konflik geopolitik. Sanksi terhadap entitas Rusia tidak hanya memengaruhi hubungan perdagangan, tetapi juga menguji batas kepatuhan perusahaan-perusahaan internasional terhadap regulasi global yang berbeda-beda.

Langkah Microsoft menghentikan layanan kepada Nayara memperlihatkan bagaimana sanksi dapat merembet ke sektor non-energi, seperti teknologi informasi, yang sejatinya menjadi tulang punggung operasional bisnis modern. Perusahaan tidak hanya dituntut memiliki strategi operasional yang efisien, tetapi juga kemampuan beradaptasi terhadap tekanan geopolitik dan regulasi lintas negara.

Nayara mungkin telah berhasil memulihkan layanan digitalnya, namun jalan menuju stabilitas penuh masih panjang. Pertarungan antara kepentingan ekonomi, kepatuhan hukum, dan politik global akan terus membentuk arah langkah perusahaan di masa depan.

Bagikan artikel ini

Komentar ()

Video Terkait